Pola pembangunan Indonesia saat ini belum berkelanjutan, provinsi-provinsi dengan PDRB yang lebih tinggi justru memiliki kulitas lingkungan hidup yang lebih rendah. Pembangunan ekonomi masih menjadi panglima pembangunan nasional, dan kondisi lingkungan masih kurang diperhatikan. Demikian disampaikan Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI Network) dan Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, dalam Seminar Nasional dan Bioexo 2018 di Universitas Negeri Padang (UNP), Sabtu, 10 Februari 2018.
Seminar Nasional dilaksanakan untuk mengusung paradigma berfikir sistem atau Systems Thinking dalam mendorong pelestarian keanekaragaman hayati dan kearifan lokal dari perspektif pendidikan. Berfikir sistem berarti komprehensif atau holistik, lintas sektor, berjangka panjang, serta dinamis. Cara berfikir ini penting untuk menghadapi berbagai isu yang kompleks, seperti keanekaragaman hayati, perubahan iklim, serta pembangunan berkelanjutan.
Perjalanan panjang proses pembangunan dengan menggunakan pembangunan ekonomi sebagai mekanisme utamanya telah mengakibatkan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan global.
Akhirnya pada tahun 1960-an, terbit buku Rachel Carson yang terkenal, berjudul The Silent Spring, yang kemudian pada tahun 1972 dilaksanakan United Nations (UN) Stockholm Conference on the Human Environment, dan Brundtland Report pada tahun 1987 membawa konsep baru pembangunan, yaitu pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, baik untuk generasi saat ini maupun generasi masa mendatang.
Kemudian isu pembangunan berkelanjutan terus berkembang, disusul dengan Earth Summit tahun 1992 di Rio Janeiro atau UN Conference on Environment and Development (UNCED), dan akhirnya muncul agenda SDGs menuju pembangunan berkelanjutan global 2030.
Indang Dewata, Dosen Universitas Negeri Padang yang juga Koordinator Program Studi Lingkungan seluruh Indonesia, pada kesempatan yang sama menyatakan bahwa suatu keniscayaan perlunya melestarikan keanekaragaman hayati, sebagai salah satu pilar keberlanjutan global.
Disisi lain, pada saat ini keanekaragaman hayati, seperti isu lingkungan lainnya masih belum berada dalam arus utama pembangunan. Menutup paparannya, Mahawan Karuniasa yang juga perwakilan Indonesia dan Asia Pasifik di Badan PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) menyatakan, selain untuk mendukung jumlah penduduk yang terus bertambah, Indonesia masih perlu berupaya mengejar ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara tetangga, maupun untuk berkembang menjadi negara maju.
Indonesia masih tertinggal dengan Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam hal eksport, dan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita juga berada di urutan ke 5 setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Oleh karena itu, menurut Mahawan Karuniasa, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dibutuhkan 3 hal prinsip. Pertama, perubahan paradigma dari parsial/sektoral yang statis dan kepentingan sesaat menjadi paradigma Systems Thinking yang holistik dan dinamis, khususnya untuk para pemangku kepentingan, terutama pengambil keputusan di pemerintahan.
Sehingga cara pandang sektoral dan jangka pendek segera ditinggalkan. Berbagai kerusakan lingkungan maupun terganggunya ekonomi karena terdegradasinya sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terjadi saat ini menjadi momentum untuk melakukan perubahan paradigma
Kedua, perlu dibangun kesadaran dan tindakan operasional para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bahwa UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup adalah dalam konteks pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan Indonesia berkelanjutan. Kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maupun kebijakan turunannya, masih diangap oleh berbagai pihak sebagai instrumen lingkungan hidup dalam arti sempit. Masih menyisakan situasi naif petentangan ekonomi dan lingkungan, yang seharusnya sudah punah.
Ketiga, dalam menghadapi isu global, seperti perubahan iklim dan SDGs, perlu dikonstruksikan sesuai kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan di Indonesia, bukan sebaliknya. Upaya mitigasi gas rumah kaca sektor energi misalnya, pada saat yang sama harus mampu memenuhi kebutuhan energi, seperti peningkatan elektrifikasi.
Reduksi emisi dari sektor pertanian, pada saat yang sama juga harus mempertahankan atau meningkatkan ketahanan pangan. Upaya untuk mencapai kondisi tanpa kemiskinan, pada saat yang sama juga melestarikan lingkungan.
Tiga prinsip diatas akan berimplikasi positif pada upaya pembangunan berkelanjutan. Kajian Lingkungan Hidup (KLHS) yang menjadi instrumen utama untuk pembangunan berkelanjutan, tidak direduksi menjadi sekedar Amdal dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun kebijakan, rencana, dan program lainnya.
KLHS juga tidak sekedar untuk perlindungan dan pengelolaan aspek lingkungan saja, namun juga untuk membangun sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang, yang berarti mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Sumber: EL JOHN News