Nahdlatul Ulama mendukung dan memandang penting untuk mengatur penyelenggaraaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam peraturan perundang-undangan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya sebagai upaya untuk mengatasi pemanasan global dan melestarikan lingkungan hidup.
Demikian salah satu butir kesepakatan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama sebagaimana dibacakan Sarmidi Husna, sekretaris komisi yang fokus membahas perundangan-undangan itu pada sidang pleno, Ahad (26/9/2021).
“Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dapat berupa bentuk pajak karbon, perdagangan karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas capaian kawasan pengurangan emisi,” katanya.
NU memandang, pajak karbon dalam konteks ini merupakan kompensasi kerugian atas kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat emisi karbon. Hasil pajak karbon wajib dialokasikan untuk penjagaan dan kelestarian lingkungan hidup, termasuk pembayaran kompensasi terhadap capaian kawasan pengurangan emisi.
Penerapan pajak karbon, lanjut Sarmidi, harus konsisten dengan tujuan utamanya, yaitu perbaikan lingkungan hidup dan upaya pengalihan energi berbasis fosil kepada energi baru terbarukan, bukan semata-mata pemasukan pendapatan negara.
“Penerapan pajak karbon harus disinkronkan dengan perdagangan karbon (carbon trading) sebagai bagian dari roadmap green economy dan harus ada pembahasan ulang tentang cara penghitungan karbon agar tidak dapat digunakan alat persaingan bisnis,” paparnya.
Sarmidi juga mengungkapkan bahwa terhadap masalah lingkungan, Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke-29 tahun 1994 di Cipasung Jawa Barat telah memutuskan bahwa masalah lingkungan hidup bukan lagi hanya merupakan masalah politis atau ekonomis saja, melainkan juga menjadi masalah teologis (diniyah), mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberi ancaman terhadap kepentingan ritual agama dan kehidupan umat manusia. Karena itu, usaha pelestarian lingkungan hidup harus dipandang dan disikapi sebagai salah satu tuntutan agama yang wajib dipenuhi oleh umat manusia, baik secara individual maupun secara kolektif.
“Sebaliknya, setiap tindakan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup merupakan perbuatan maksiat (munkar) dan haram, karena termasuk tindakan merugikan,” tambahnya.
Seperti diagendakan forum Munas Alim Ulama NU menyoroti tiga persoalan hukum di Indonesia. Ketiga persoalan tersebut antara lain meliputi telaah atas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pajak Karbon dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), serta RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Forum Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 kali ini memutuskan pembahasan UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama menjadi bahan bahasan pada Muktamar Ke-34 NU mendatang, dan tidak dituntaskan pada forum munas sekarang.
Hasil sidang-sidang komisi pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 disampaikan dan diputuskan dalam sidang pleno yang akan disambung dengan acara penutupan pada hari ini.