Semua pihak perlu mengetahui pemanasan global telah menembus 2° Celsius, sesuai informasi EU’s Copernicus Climate Change Service (C3S), padahal batas aman Paris Agreement adalah 1,5° Celsius. Dampak dari kenaikan suhu permukaan Bumi tentu akan semakin berat, sehingga dalam urusan energi bersih seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) perlu mewaspadai perkembangan ini, demikian ungkap Mahawan Karuniasa, Pakar Lingkungan UI dalam Simposium Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia yang di selenggarakan di Universitas Indonesia Kampus Salemba. Simposiun dilaksanakan pada Kamis, 23 November 2023, digagas oleh Environment Institute (ENVIRO) bekerjasama dengan Sekolah Ilmu Lingkungan UI, Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) serta Ikatan Alumni Sekolah Ilmu Lingkungan UI (ILUNI SIL UI).
Banyak ilmuwan yang cukup kaget dengan perkembangan yang disampaikan tim Copernicus, meskipun angka tersebut bersifat temporer yang telah terjadi pada tanggal 17 dan 18 November 2023, namun dapat dijadikan tanda-tanda kenaikan pemanasan global yang lebih cepat dari perkiraan. Beberapa pihak juga menyampaikan bahwa tahun 2023 sampai dengan saat ini diduga akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Rahmawati yang hadir dalam Simposium menyoroti perlunya integrasi konservasi hutan dan Pembangunan PLTA, termasuk pentingnya pembayaran jasa lingkungan untuk menjaga kelestarian flora fauna disekitarnya. Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa menggarisbawahi perlunya pertimbangan supply-chain dan keekonomian dalam integrasi berbagai alterternatif pembangkit listrik berbasis energi bersih.
Dalam agenda transisi energi Indonesia, hydropower menjadi salah satu alternatif yang dikembangkan di Indonesia sesuai dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) selain dari sumber energi angin, surya, biomassa, dan panas bumi maupun potensi sumber lainnya. Salah satu PLTA yang telah lama dibangun, seperti PLTA Wonogiri sempat terganggu operasinya karena dampak El-Nino yang melanda Indonesia. Oleh sebab itu, pembangunan PLTA sebagai bentuk mitigasi emisi gas rumah kaca, juga pada saat yang bersamaan perlu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi, khususnya pada saat cuaca ekstrem kering, kata Mahawan Karuniasa.
Sebagai contoh, PLTA Batang Toru yang saat ini sedang dibangun dengan beban puncak 510 MW, dilihat dari disainnya memiliki kelebihan dalam aspek kelestarian ekosistem hutan, namun perlu beradaptasi terhadap cuaca ekstrem kering, untuk menjaga ekosistem sungai tetap terjaga karena sebagian airnya diarahkan melewati waterway bawah tanah untuk digunakan PLTA. Energi bersih dibutuhkan, termasuk PLTA, namun perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dan menjaga kelestarian ekosistem disekitarnya, tegas Mahawan Karuniasa menutup pernyatannya.