Published On: 5 February 2021

Relevansi UU Cipta Kerja lebih kuat pada isu strategi jangka panjang-rendah karbon dan ketahanan terhadap iklim (lLTS-LCCR). Sasaran utama LTS-LCCR mewujudkan net zero emission global 2050. 

 

AMBISI lebih dalam mitigasi emisi global adalah keniscayaan pada dekade ini, dan menjadi lembar baru tantangan semua pihak dalam membangun kesepakatan: siapa menurunkan berapa. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari Kesepakatan Paris yang jika diimplementasikan sepenuhnya oleh semua negara, 100% tanpa kecuali, masih belum mengarah pada target di bawah 1,50 Celsius.

Berdasarkan Emission Gaps Report United Nations Environment Programme (UNEP) 2019, pada 2030 diprediksi upaya mitigasi gas rumah kaca global di bawah Kesepakatan Paris melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC) akan menyisakan emisi 54-57 miliar ton setara CO2, meski semua negara melaksanakan komitmennya. Padahal untuk menjaga agar pemanasan global tidak melampaui 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1850, kuota emisi global pada 2030 maksimal 25 miliar ton.

Pada 2030 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) memprediksikan jumlah populasi dunia mencapai 8,5 miliar. Artinya, untuk menjamin agar suhu bumi tak naik melampaui 1,5C, pada tahun tersebut rata-rata jatah emisi per kapita harus tidak lebih dari 2,9 ton.

Situasi ini menjadi tantangan semua pihak, khususnya negara-negara yang tergabung dalam G20, termasuk Indonesia, sebagai kontributor 78% emisi global. Jika dipersempit lagi, lebih dari 55% emisi global berasal dari empat negara dalam G20, yaitu Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa (UE-28), dan India. Sedangkan dari sisi jumlah emisi per kapita, tertinggi adalah Amerika dengan lebih dari 20 ton per orang, lalu Rusia, Jepang, Cina, dan UE28 yang berkisar antara 8-18 ton per kapita.

Meski menjadi tanggung jawab bersama, tentu tidak dapat terhindarkan peran penting empat produsen emisi terbesar tersebut, serta negara anggota G20 dalam ambisi lebih mitigasi global, termasuk Indonesia.

Emisi vs Ekonomi

Sesuai mandat Kesepakatan Paris, negara yang menyampaikan komitmen melalui skema konstribusi nasional yang ditetapkan (NDC) dengan kerangka waktu sampai tahun 2030, perlu mengkomunikasikan atau melakukan updated NDC. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menjalankan proses update NDC dengan satu catatan penting bahwa target mitigasi tahun 2030 telah dipertimbangkan ambisius, sehingga tidak terdapat perubahan target reduksi emisi dari dokumen First NDC Indonesia.

Secara umum, di antara negara berkembang, implementasi aksi iklim Indonesia cukup progresif. Pengarus-utamaan NDC ke dalam perencanaan pembangunan telah dilakukan, sedangkan dalam pengembangan kapasitas global, isu integrasi aksi iklim ke dalam perencanaan pembangunan negara berkembang baru dimulai.

Pembangunan Rendah Karbon (PRK) memiliki dua fase kerangka kerja. Kerangka kerja fase 1 pada periode 2017-2019 di bawah mekanisme teknokratis, dengan fokus pada pengembangan model PRK dan pengarus-utamaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pada kerangka kerja PRK fase 2, tujuan utamanya adalah implementasi pembangunan rendah karbon yang telah terintegrasi dalam RPJMN 2020-2024, dan membangun model PRK untuk RPJMN 2025-2029.

Terdapat lima domain intervensi PRK dalam RPJMN 2020-2024, meliputi penguatan kebijakan PRK, monitoring-evaluasi-pelaporan, pelibatan sektor swasta, pelibatan subnasional, komunikasi, dan pelibatan subnasional. Melalui intervensi ini diharapkan implementasi RPJMN 2020-2024 berada pada jalur visi Indonesia 2045. Konsep inti dari pembangunan rendah karbon adalah mereduksi emisi untuk meningkatkan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi justru akan lebih tinggi dengan upaya mencapai target reduksi emisi gas rumah kaca.

UU Cipta Kerja

Sejak awal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) ini mengundang pro-kontra, karena alasan substansi dan proses pembuatannya, baik dari pengamat dan akademisi, juga para politisi karena perbedaan pandangan dalam pembangunan, maupun sekadar menjatuhkan lawan politik. Mahasiswa juga demikian, bahkan ketika disensus pada saat perkuliahan 70% menolak, 30% tidak menolak, namun semuanya, 100% tidak pernah membaca UU Cipta Kerja.

Masyarakat juga turut riuh memperbincangkan serta menolak sampai terjadi demonstrasi. Boleh jadi, klimaks realitas sosial pro-kontra UU Cipta Kerja ini justru sebelum disahkan. Saat itu, menolak telah menjadi atribusi sosial yang tampaknya dinilai lebih penting dibandingkan konten draf undang-undangnya itu sendiri.

Berdasarkan konsepsinya, omnibus law merupakan metode untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam undang-undang atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam undang-undang ke dalam satu beleid tematik. Alur pikir penyusunan UU Cipta Kerja jelas ditujukan untuk pembangunan ekonomi, untuk mencapai tujuan jangka panjang Visi Indonesia 2045 dan melepaskan diri dari middle income trap.

Tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2045 diproyeksikan mencapai US$ 7 triliun, sehingga masuk lima besar ekonomi dunia dengan menempatkan PDB Indonesia pada peringkat ke-4, serta pendapatan per kapita sebesar Rp 27 juta.

Dalam perspektif sistem ekonomi, UU Cipta Kerja dirancang untuk mempercepat perputaran mesin ekonomi yang bersifat eksponensial. Semakin banyak investasi, semakin menumpuk kapital fisik, semakin berkembang kapital manusia, dan semakin banyak lapangan kerja, serta semakin tinggi nilai PDB.

Persoalannya, dalam sistem ekonomi, pertumbuhan eksponensial PDB disertai dengan deplesi kapital alam. Jadi, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah UU Cipta Kerja ini, atau para pelaku utama sistem ekonomi yang dibekali instrumen perundangan ini, mampu menjaga ketersediaan kapital alam untuk menjamin keberlanjutan sistem ekonomi itu sendiri?. Di sini substansi dialektika UU Cipta Kerja yang hadir saat pola pembangunan berada di simpang jalan dalam situasi sustainability revolution yang sedang berlangsung.

Dalam sustainability revolution saat ini, pola pembangunan nasional dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan pembangunan ekonomi business as usual, suatu perilaku pembangunan ekonomi yang saat ini berlangsung, atau menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengusung paradigma kelestarian. Sebenarnya, tidak ada pilihan, karena ekonomi ke depan akan runtuh jika kapital alamnya, yang terdiri atas sumber daya alam dan jasa lingkungan, kolaps.

Kenyataannya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi semakin tinggi yang diiringi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang membaik. Sebaliknya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) cenderung menurun, membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dengan pola business as usual yang menghancurkan kapital alam masih berlangsung.

Melihat catatan emisi nasional, sejak 2000 sebanyak 1,19 miliar ton setara CO2 dan 1,64 miliar ton pada 2018. Dekade 2020-2030 yang akan didominasi oleh emisi sektor energi, cenderung memiliki pertumbuhan yang “aman”, yaitu 2,3% per tahun. Sesuai data emisi sektor energi 2011-2018, diperkirakan emisi tahun 2030 pada tingkat 0,78 miliar ton, lebih rendah dari target Counter Measure 1 (CM1) sebesar 1,36 miliar ton maupun 1,27 miliar ton untuk CM2. Artinya, dengan pola pembangunan seperti saat ini terjadi, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai target NDC.

Kondisi yang relatif aman untuk sektor energi, mendorong perlunya memperhatikan kembali sektor kehutanan dan perkebunan, khususnya kebakaran hutan dan lahan gambut. Sifat fluktuatif yang sangat tinggi pada  kebakaran hutan dan lahan termasuk gambut menjadi risiko pencapaian target NDC. Pencegahan kebakaran telah diatur dalam UU Cipta Kerja untuk pemegang hak atau izin kehutanan, namun tidak eksplisit pada sektor perkebunan yang justru memberikan risiko emisi yang lebih besar dari kebakaran lahan gambut. Peraturan Pemerintah serta peraturan perundangan turunan lainnya perlu mengawal soal ini.

Relevansi UU Cipta Kerja lebih kuat pada isu strategi jangka panjang-rendah karbon dan ketahanan terhadap karbon (long term strategy-low carbon and carbon resilience, LTS-LCCR). Sasaran utama LTS-LCCR adalah mewujudkan net zero emission global pada 2050.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan target ini memberi peluang menimbang ulang target penurunan melalui aspek ekosistem laut selain lima sektor NDC. Saat ini telah terbentuk aliansi global para “aktor ekonomi” yang melibatkan 120 negara termasuk 454 kota, 23 daerah, 1.397 usaha, 74 investor, dan 569 universitas.

Dari perspektif systems thinking, visi Indonesia 2045 menjadi titik kritis (critical threshold) ekonomi yang justru akan menjadi pengendali keberlanjutan kapital alam. Situasi sustainability revolution perlahan mengubah kerusakan lingkungan dari keuntungan menjadi kerugian ekonomi bahkan politik.

Tantangannya justru tidak berbeda dengan sebelum UU Cipta Kerja disahkan, yaitu fake news: rugi dikatakan untung, untung diberitakan rugi. Tercapainya Visi Indonesia 2045 dan terjaganya kapital alam akan ditentukan dengan menekan implikasi negatif omnibus law ini.

 

Writer: Mahawan Karuniasa
Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan anggota Paris Committee on Capacity Building (PCCB)

Source: Forest Digest

Share this information!

Leave A Comment