Published On: 28 May 2024
Bantar Gebang

Pemulung mencari sampah plastik yang dapat didaur ulang di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang di Bekasi, di pinggiran Jakarta, 25 Januari 2024.

Usulan pejabat gubernur Jakarta terkait pembuatan pulau untuk menampung 8.000 ton sampah harian dengan mereklamasi dari sedimen sungai yang dikeruk dikritik oleh para pemerhati lingkungan yang mengatakan hal itu tidak menjawab permasalahan sampah di ibu kota dan sekitarnya.

Jakarta dihadapkan pada masalah meluapnya sampah di tempat pembuangannya sejak 2019, ketika sampah yang menumpuk di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, mencapai ketinggian 40 meter, atau setara dengan bangunan 16 lantai, menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI. Pada tahun itu Bantargebang sudah menampung 80 persen dari total 49 juta ton kapasitasnya.

Berdiri di atas lahan seluas 110 hektar, TPST Bantargebang beroperasi mulai 1989 atas dasar kerjasama antara pemerintah Kota Bekasi dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai imbalannya, pemerintah Provinsi (pemprov) Jakarta memberikan kompensasi berupa dana tunai ke pemerintah Kota Bekasi.

Seiring berkurangnya daya tampung Bantargebang, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi menyebut pulau sampah di Kepulauan Seribu itu bisa menjadi solusi ke depannya dalam pengelolaan sampah, termasuk dalam kemampuan menampung sampah di wilayah aglomerasi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

“Tempat enggak bisa lagi di lahan daratan yang ada di Jakarta maupun di Jabodetabek, ya sama-sama memikirkan itu,” ujar Heru yang juga menyebut Bantargebang akan mencapai kapasitas maksimalnya sepuluh tahun mendatang.

“Kita reclaim (reklamasi) pakai sedimen-sedimen, sampah segala macam, nanti dia jadi pulau,” tambahnya.

Namun pengamat mengecam usulan pulau sampah itu yang dinilai hanya menambah masalah dengan memindahkan lokasi penampungan sampah tanpa memberikan solusi yang tepat terhadap pengelolaan sampah.

Truk-truk Sampah

Foto yang diambil pada 14 September 2023 ini menunjukkan truk-truk sampah di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang yang berukuran 200 lapangan sepak bola dan menerima sekitar 7.500 ton sampah dari Jakarta setiap harinya, di Bekasi, Jawa Barat. [Yasuyoshi Chiba/AFP]

Bukan solusi

Pakar lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, menyebut hal yang lebih mendesak dalam mengatasi sampah ibu kota adalah perbaikan pengelolaan Bantargebang.

“Kalau pembangunan pulau sampah tetap dengan pendekatan apa yang dilakukan di Bantargebang, cepat atau lambat maka pulau sampah itu akan penuh,” ujar Mahawan, yang juga CEO Environment Institute, kepada BenarNews.

“Jadi tidak menyelesaikan masalah, malah hanya memindahkan masalah dari Bantar Gebang ke pulau sampah.”

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Eko Prasodjo, mengatakan sebaiknya pemprov fokus pada hulu persoalan yaitu manajemen sampah, pembentukan budaya masyarakat dan pemanfaatan kantong non-plastik.

“Saat ini (pengelolaan sampah) lebih fokus di hilir dan teknologi sampah masih sangat terbatas,” ujar Eko kepada BenarNews.

“Akibatnya volume sampah sangat besar dan tidak seimbang dengan kapasitas pengolahan di tempat pembuangan akhir.”

Penasihat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Pambagio menilai pengelolaan sampah di Jakarta masih tradisional.

“Belum waste to energy, seperti misal di Jepang. Kalau ditaruh di pulau, nanti cuaca buruk bagaimana? Sampah bisa ke laut,” ujar Agus kepada BenarNews.

“Lagi pula apa Jakarta sudah ada kapal khusus pengangkut sampah? Kalau pengelolaan sekarang masih tradisional, nanti dipindah ke pulau, malah jadi masalah baru,”

Sementara itu juru kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah menyebut rencana pemprov Itu paradigma salah dan gagasan tidak tepat.

“Hanya ingin menghilangkan sampah dari pandangan mata, tapi bukan substansinya yakni menekan produksi sampah,” ujar Muhammad kepada BenarNews.

Senada dengan Agus, Muhammad menyebut pengelolaan di hulu adalah yang terpenting dalam pengelolaan sampah ibu kota.

“Jadi pengelolaan di hilir lebih ringan. Nggak perlu lahan baru. Kalau mau dibikin pulau, sedangkan masalah di hulu enggak diselesaikan, emang mau dibikin berapa pulau? Mau dibuat berapa TPA (tempat pembuangan akhir) lagi?” tanya Muhammad.

Harus menampung hingga 100 tahun

Jika proyek ini tetap berlanjut, ujar Mahawan, pemprov harus memikirkan masak-masak soal lokasi yang rencananya merupakan pengembangan pulau reklamasi.

Mahawan menyebut sejumlah kriteria wajib dipenuhi calon lokasi pulau sampah salah satunya adalah luas wilayah.

“Untuk mampu menampung 50 hingga 100 tahun ke depan, harus berlipat ganda luasnya,” tutur Mahawan.

Jika Bantargebang memiliki luas 100 hektar, Mahawan mengusulkan luas yang sama dengan pulau sampah milik negara tetangga Singapura, Pulau Semakau, yakni sekitar 350 hektar.

Kedua, kata dia, pemprov juga harus menyiapkan teknologi pemrosesan sampah, yang mana sejak sampah datang harus segera diproses.

“Tidak menimbun terus-menerus sehingga nanti cepat atau lambat kapasitas akan habis lagi,” ujar Mahawan.

Pun terkait aksesibilitas, infrastruktur, serta calon investor yang harus disiapkan pemprov, tambah Mahawan.

“Sampah yang dibawa dari Jakarta dan sekitarnya harus disiapkan. Infrastruktur juga harus menggunakan teknologi pemrosesan akhir yang menghasilkan energi dan lebih baik dari apa yang ada di Bantargebang,” ujarnya.

Selain tujuan pembangunan pulau sampah, dampak negatif terhadap lingkungan juga harus diperhatikan.

“Dampaknya ikan-ikan terkontaminasi mikro-plastik dan berbahaya untuk dikonsumsi. Ujungnya akan merugikan masyarakat yang konsumsi juga,” tukas Muhammad, menambahkan bahwa jika melakukan pembakaran atas sampah maka terdapat potensi pencemaran udara juga.

Pemulung

Foto yang diambil pada 14 September 2023 ini menunjukkan para pemulung yang mengumpulkan sampah plastik untuk dijual, beristirahat di sebuah warung kopi di lingkungan tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. [Yasuyoshi Chiba/AFP]

Harus sinkron dengan Giant Sea Wall

Anggota DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan mengatakan proyek pulau sampah ini harus dikaitkan juga dengan upaya untuk menyelamatkan daratan Jakarta yang setiap tahun mengalami penurunan.

“Harus sinkron dengan rencana giant sea wall. Jadi tidak bicara semata-mata sampah, tapi juga menyelamatkan daratan Jakarta. Karena para ahli sudah memprediksi kalau tidak ada tindakan-tindakan yang revolusioner, 50 tahun lagi mungkin sebagian besar daratan Jakarta akan tenggelam,” ujar Pantas kepada BenarNews.

Pemprov sendiri, lanjut Pantas, harus melakukan sederet persiapan sebelum mengeksekusi proyek ini, mulai dari penentuan lokasi reklamasi melalui pengajuan rencana tata ruang wilayah hingga pembiayaan.

“Rencana detail tata ruang itu akan diselaraskan dengan UU Nomor 2/2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Mungkin bisa dikaitkan dengan kawasan aglomerasi. Artinya daerah-daerah penyangga di kawasan aglomerasi harus sinkron juga rencana tata ruangnya,” tegas Pantas.

Pantas juga mendesak pemprov untuk mengkaji lagi usulan itu dengan melibatkan banyak pihak; pakar, pemerintah pusat, hingga masyarakat pesisir.

“Semua orang harus diajak diskusi karena yang harus diantisipasi adalah perubahan iklim ke depan ini menjadi salah satu ancaman. Kondisi itu harus dipertimbangkan. Kenaikan air laut dan penurunan permukaan tanah menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan.”

 

Source: Benar News

Share this information!

Leave A Comment