Setiap kebijakan tata ruang dan pengendalian pembangunan perkotaan atau wilayah perlu menyesuaikan dengan perubahan iklim.
JAKARTA, KOMPAS – Cuaca ekstrem hingga menyebabkan hujan lebat dan bencana hidrometeorologi seperti banjir di Kalimantan Selatan menandakan pemanasan global terus terjadi dan lebih cepat dari yang diperkirakan. Guna mengurangi dampak yang ditimbulkan, setiap kebijakan tata ruang dan pengendalian pembangunan perkotaan atau wilayah perlu menyesuaikan dengan perubahan iklim.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa mengemukakan, informasi terkait anomali cuaca pada 2020 dengan peningkatan suhu global mencapai 1,2 derajat celcius telah disampaikan oleh Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC). Hal ini berdampak pada meningkatnya cuaca ekstrem seperti yang pernah terjadi di wilayah Jabodetabek pada awal Januari 2020 lalu.
Saat itu, curah hujan mencapai 377 milimeter dalam satu hari, tercatat tertinggi selama 154 tahun. Tanpa deforestasi atau kerusakan hutan, tentunya anomali cuaca khususnya curah hujan ekstrem dapat menyebabkan banjir. (Mahawan Karuniasa)
“Saat itu, curah hujan mencapai 377 milimeter dalam satu hari, tercatat tertinggi selama 154 tahun. Tanpa deforestasi atau kerusakan hutan, tentunya anomali cuaca khususnya curah hujan ekstrem dapat menyebabkan banjir,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Selain banjir, sejumlah wilayah di Indonesia juga cenderung mengalami bencana hidrometeorologi lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sejak 1-24 Januari 2021 sudah terjadi 201 kejadian bencana yang tersebar di berbagai wilayah. Banjir menjadi bencana yang paling banyak terjadi dengan 136 kejadian, disusul tanah longsor (32), puting beliung (25), serta gelombang pasang dan abrasi (5). Bencana tersebut telah mengakibatkan 169 orang meninggal dan 1,6 juta warga menderita serta mengungsi.
Terkait dengan banjir di Kalimanta Selatan, Mahawan memandang bahwa bencana tersebut tidak terjadi karena faktor tunggal. Tata ruang, tata kota, dan pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali, serta sistem drainase perkotaan yang buruk juga berpotensi menimbulkan bencana banjir.
Guna mengurangi dampak yang ditimbulkan, kata Mahawan, setiap kebijakan tata ruang dan pengendalian pembangunan perkotaan atau wilayah perlu menyesuaikan dengan perubahan iklim. Masyarakat yang membangun permukiman di pinggir sungai juga harus berada pada jarak aman dari banjir alami.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Imam Hanafi mengatakan, kebijakan satu peta dapat menjadi rujukan awal dalam pengelolaan ruang yang berwawasan lingkungan. Di sisi lain, satu peta juga dapat digunakan sebagai dasar dalam proses penyelesaian konflik ruang melalui proses siskronisasinya.
Namun, menurut Imam, kebijakan satu peta tidak menyertakan informasi geospasial dari masyarakat lokal atau adat tentang ruang sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Ketiadaan peta partispatif yang dibuat oleh masyarakat lokal atau adat ini dinilai dapat menjadi titik masuk timbulnya bencana ekologi dan sosial. Hal ini karena lemahnya peran serta masyarakat untuk terlibat dalam mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya.
“Peraturan presiden kebijakan satu peta berikutnya harus dapat menjawab beberapa permasalahan seperti mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam peta partisipatif serta mengintegrasikanya dalam kebijakan. Hal ini dapat menjadi salah satu data rujukan dalam proses sinkronisasi spasial dalam rangka penyelesaian konflik tumpang tindih ruang dan penegasan sratus ruang,” ujarnya.
Sumber: Kompas