Published On: 3 January 2020

Warga berpegangan pada tali untuk melalui jalanan yang tergenang banjir di Tangerang, Banten, Kamis (2/1).

Problem banjir yang terjadi di Jakarta tidak dapat diselesaikan jika penanganan hanya terkonsentrasi di wilayah ibukota saja. Para pakar sependapat, solusi harus dimulai dari kawasan hulu.

Perbincangan mengenai banjir ibukota yang didominasi mengenai apa yang dilakukan dan tidak dilakukan di wilayah Jakarta, menunjukkan belum dipahaminya bencana itu sendiri. Pakar hidrologi Universitas Gadjah Mada, Sutarman menyebut, pembahasan mengenai banjir harus menyeluruh pada setiap Daerah Aliran Sungai (DAS). Karena itu, Jakarta yang terendam harus mengalihkan pandangan masyarakat ke area atas, di mana seluruh aliran air ini bermula.

Menurut Sutarman, jika jarak antara hujan dan banjir di Jakarta dan sekitarnya relatif pendek, berarti kawasan hulu tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

“Jaraknya harus lama untuk menupuknya air di bawah. Kalau cepat, itu berarti fungsi retention, fungsi resapan, fungsi hutan, fungsi biopori, fungsi embung itu perlu ditinjau ulang. Terutama di daerah atas. Daerah atas itu jantungnya penyebab banjir.Saya kira begitu, perlu kerjasama antar kabupaten, antar gubernur. Kalau di luar negeri, malah sudah antarnegara MOU-nya, dan punishment-nya jalan, one river one plan itu jalan,” kata Sutarman.

Secara teori, kata Sutarman, daerah atas aliran sungai berfungsi sebagai recharge area, kawasan tengah sebagai transport area, yang bawah sebagai discharge area. Karena menjadi satu kesatuan, menjadi penting bahwa pengelolaan DAS Jakarta perlu diperkuat dengan prinsip-prinsip konservasi daerah hulu. Karena itu, mencari jalan keluar banjir harus dimulai dari kawasan gunung-gunung di sekitar Bogor.

Jakarta jelas menghadapi masalah dengan pemanfaatan tanah kawasan hulu sungai-sungai yang mengalir menuju area tersebut. Kemudian di sepanjang bentang alamnya, gangguan terus terjadi di kawasan bantaran sungai. Sedangkan di bawah, rumah-rumah air seperti cekungan dan rawa berkembang menjadi pemukiman.

Di Yogyakarta, saluran air seperti Selokan Mataram dan van Der Wijk dibangun untuk pengendalian banjir sekaligus pengairan. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Adaptasi harus dilakukan. Masyarakat harus diajak membuat resapan di setiap rumah dan perkantoran, serta memanen air hujan. Selain itu, pembangunan sudetan juga bisa dilakukan. Sutarman memberi contoh, Sultan Yogya yang membangun selokan besar dari kawasan barat ke sisi timur sepanjang 32 kilometer sejak sebelum Indonesia merdeka.

“Di Yogya ada Selokan Mataram untuk sudetan, ini namanya perkawinan sungai. Sehingga aliran dapat diperlambat untuk mengurangi banjir. One river, one plan, one management seharusnya diterapkan di seluruh Indonesia. Teorinya itu harus meletakkan air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai malapetaka. Yang terjadi sekarang, kan terbalik,” ujar Sutarman.

Sutarman adalah Anggota Komisi Teknis Lingkungan dan Kebencanaan, Dewan Riset Nasional. Saat ini dia sedang mengembangkan alat sensor elektronik pemantau banjir. Alat ini, kata Sutarman, bisa memberikan peringatan dini ketika banjir terjadi. Alat akan memantau tinggi air dan mengirim laporan ke petugas atau relawan area tertentu. Relawan ini akan membantu warga mengetahui apakah banjir akan terjadi dengan segera atau tidak.

“Posisi relawan penting, agar tidak terjadi turbulensi informasi kepada warga. Saya berharap alat ini bisa di uji coba di Jakarta. Kami sudah uji coba di Klaten, Jawa Tengah bersama Gubernur Ganjar Pranowo,” ujar Sutarman.

Urgensi RUU Perubahan Iklim

Banyak video beredar menunjukkan mobil-mobil hanyut atau terendam air. Menurut pakar ilmu lingkungan dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, gambaran itu menunjukkan tidak adanya peringatan dini yang diberikan kepada masyarakat.

Mahawan yang juga Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kahutanan Indonesia menyayangkan, meski bencana akibat iklim terus terjadi, respon pemerintah secara umum lamban. Salah satunya adalah tidak masuknya RUU Perubahan Iklim dalam Program Legislasi Nasional hingga 2024. Padahal, melalui RUU ini, Indonesia bisa lebih terencana dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Seorang anak bermain di jembatan kecil yang membentang di Selokan Mataram di Yogyakarta. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“Kalau mitigasi misalnya bagaimana masyarakat membuang sampah tidak sembarangan. Kemudian adaptasi, bagaimana masyarakat mampu membangun early warning system. Seperti saat ini, kita kecolongan sebenarnya. Curah hujan ekstrim sekali, tertinggi selama 154 tahun terakhir, tetapi kok kita lihat mobil banyak hanyut. Itu menunjukkan, bahwa tidak ada kesiapan. Early warning system belum berjalan,” ujar Mahawan.

Mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG), Mahawan menyebut curah hujan pada 1 Januari 2020 mencapai 377 mm/hari. BMKG sendiri mengatakan, itu adalah angka tertinggi yang tercatat sejak 1866 di area Jakarta. Catatan BMKG terkait curah hujan tinggi, pada 1866 mencapai 185,1 mm/hari. Kemudian pada 1918 adalah 125,2 mm/hari, 1979: 198 mm/hari, 1996: 216 mm/hari, 2007: 340 mm/hari, 2008: 250 mm/hari, 2015: 277 mm/hari, dan 2020: 377 mm/hari.

Mahawan menyebut kecolongan, karena meski mengetahui curah hujan begitu tinggi, upaya peringatan dini sangat minim dilakukan. Dia berharap data pada 1 Januari 2020 bisa menjadi peringatan bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia, karena curah hujan lebih tinggi masih mungkin terjadi.

Seperti Sutarman, Mahawan setuju pencegahan banjir di Jakarta harus dimulai dari perbaikan kawasan hulu. Konsep yang sama berlaku di setiap wilayah lain, di mana DAS harus diberi perhatian lebih, dan itu bisa berarti urusan lintas kewilayahan.

Karena di level nasional, RUU Perubahan Iklim nampaknya kurang memperoleh perhatian, Mahawan berharap ada upaya di tingkap lokal. Pemerintah daerah yang memiliki kawasan rentan, khususnya Jakarta, bisa bergerak dengan membuat aturan di lingkup perubahan iklim, misalnya melalui Peraturan Daerah (Perda).

“Karena tingkat kerentanan itu terus meningkat. Saya kira pemerintah provinsi tidak harus menunggu. Langsung beraksi saja untuk membuat regulasi tertentu, yang bisa memperkuat aksi perubahan iklim di tingkat provinsi,” papar Mahawan.

Bencana akibat perubahan iklim, seperti banjir, intensitasnya semakin tinggi. Otomatis, kerugian yang ditimbulkan juga terus naik seiring waktu. Sayangnya, dampak ekonomis semacam itu belum menjadi pertimbangan di Indonesia, untuk segera menyurusn dasar hukum nasional penanganan dampak perubahan iklim.

“Adaptasi itu lebih murah, dengan membangun konsep kesiap-siagaan, dibanding melakukan upaya tanggap darurat. RUU Perubahan Iklim, salah satu maksudnya adalah perencanaan terkait upaya adaptasi yang lebih baik, sehingga dengan biaya lebih rendah kita punya ketahanan lebih baik. Sebaliknya, saat ini dengan tidak adanya early warning system, kerugiannya jauh lebih banyak,” pungkas Mahawan. [ns/ab]

 

Sumber: VOA Indonesia

Share this information!

Leave A Comment