Jurnal34news.com, Jakarta- Untuk menjamin perkebunan kelapa sawit dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, baik aspek perekonomian, sosial, serta lingkungan, pemerintah perlu segera menetapkan luas maksimal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, demikian disampaikan Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI Network) dalam Diskusi Islands of Palm Oil, di Goethe Institute, Jakarta (19/4).
Diskusi dan pemutaran film Islands of Palm Oil karya Armin Linke, merupakan bagian dari agenda kerjasama APIKI Network, Indonesian Environmental Sienctists Association (IESA), Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, dan Yayasan Peta Bencana, sebagai bentuk kepedulian untuk mewujudkan Indonesia Berkelanjutan.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian, estimasi luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2017 telah mencapai 12,3 juta hektar dengan produksi 35,4 juta ton, yang sebagian besar berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat ekspor minyak kelapa sawit pada tahun 2017 mencapai 31,1 juta ton, meningkat 23 persen dari 25,11 juta ton pada tahun 2016.
Sedangkan nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia tahun 2017 menembus 22,97 miliar dollar AS, naik 26 persen dari tahun sebelumnya senilai 18,22 miliar dollar AS, dan menjadi nilai tertinggi sepanjang sejarah ekspor minyak sawit Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit menjadi perhatian para pihak, selain nilai ekspornya yang menjadi penyumbang devisa terbesar, juga implikasinya terhadap kondisi lingkungan di Indonesia, terutama dituding sebagai perusak lingkungan, antara lain menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan.
Pro dan kontra perkebunan kelapa sawit juga diwarnai kedangkalan pemahaman pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, sehingga memunculkan penolakan perkebunan kelapa sawit maupun sebaliknya yaitu terus menerus menambah luas perkebunan kelapa sawit melalui peningkatan investasinya.
Padahal melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan, perkebunan kelapa sawit memiliki peluang untuk dikelola agar memberikan kontribusi ekonomi, namun tidak melampaui daya dukungnya.
Untuk menjamin peran kelapa sawit dalam pembangunan berkelanjutan nasional, perlu ditetapkan luasan maksimal perkebunan kelapa sawit pada tingkat subsansional, baik tingkat kabupaten dan provinsi, dengan mempertimbangkan secara komprehensif kondisi perekonomian,sosial, dan ekosistem lokalnya.
Penetapan luasan perkebunan kelapa sawit optimal di suatu wilayah pembangunan dapat menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) rencana tata ruang maupun dokumen rencana pembangunan daerah, ungkap Mahawan Karuniasa menutup diskusi. (Ag/Wt)
Sumber: Jurnal34News.com