Era Kecerdasan Buatan: Solusi atau Tantangan Keberlanjutan?
Masyarakat global menghadapi polikrisis dengan kondisi Planet Bumi yang tidak stabil, yang membutuhkan rapid transformation of societies untuk menghadapinya. Disisi lain, memasuki era AI dengan algoritmanya yang cenderung memperkuat bias dapat mendegradasi asabiyyah atau solidaritas kelompok yang menjadi pilar peradaban. Apakah situasi ini mengarahkan pada global sustainability atau sebaliknya?, menuju Indonesia Emas atau Cemas?
Mahawan Karuniasa
Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Founder & CEO Environment Institute Indonesia
Terbit: 12 Januari 2025

Foto Ilustrasi
Landasan Keberlanjutan Kehidupan
Sustainability, atau keberlanjutan, adalah kemampuan suatu sistem untuk bertahan dan beradaptasi menghadapi perubahan yang terus terjadi. Konsep ini mencakup berbagai sistem, termasuk bumi sebagai pendukung kehidupan, sistem budaya, dan sistem ekonomi. Dalam konteks planet bumi, sustainability berarti menjaga keseimbangan ekosistem, sumber daya alam, dan keberlanjutan kehidupan manusia di tengah tantangan perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan.
Misalnya, perubahan iklim menjadi isu global yang paling mendesak. Peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia telah mengganggu keseimbangan atmosfer, menghasilkan pemanasan global yang memicu gelombang panas ekstrem, badai, dan naiknya permukaan laut. Tantangan ini membutuhkan transformasi energi menuju sumber energi terbarukan seperti matahari dan angin, serta pergeseran pola konsumsi masyarakat menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Di bidang ekonomi, sustainability menghadapi tantangan besar dalam mengurangi ketimpangan. Sistem ekonomi global yang berbasis konsumsi berlebihan sering kali mengorbankan kesejahteraan jangka panjang demi keuntungan jangka pendek. Hal ini memunculkan kebutuhan antara lain ekonomi sirkular, di mana limbah diminimalkan melalui daur ulang dan pemanfaatan ulang sumber daya.
Pada aspek budaya, keberlanjutan berarti menjaga nilai-nilai lokal dan tradisi yang mendukung harmoni dengan lingkungan. Misalnya, masyarakat adat di berbagai belahan dunia memiliki praktik tradisional yang mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti pertanian berbasis kearifan lokal. Namun, globalisasi dan modernisasi sering kali mengikis nilai-nilai ini.
Untuk mencapai sustainability, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua sektor masyarakat. Upaya ini harus didasarkan pada kolaborasi global, kebijakan yang adil, dan inovasi teknologi yang mendukung transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Polikrisis: Kompleksitas Krisis Global

Foto Ilustrasi
Polikrisis adalah istilah yang menggambarkan berbagai krisis yang terjadi secara bersamaan, saling memperburuk, dan menciptakan tantangan yang lebih besar daripada dampak individual setiap krisis. Johan Rockström, seorang profesor terkenal dalam bidang keberlanjutan, menyoroti bahwa dunia saat ini menghadapi berbagai krisis seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan, dan krisis air bersih. Krisis ini berakar pada sistem yang saling terkait dan membutuhkan solusi terintegrasi.
Salah satu contoh polikrisis adalah keterkaitan antara perubahan iklim dan ketahanan pangan. Pemanasan global telah mengubah pola cuaca, menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah dan banjir di wilayah lain, yang mengganggu produksi pertanian. Ini berdampak langsung pada ketahanan pangan global, terutama di negara berkembang yang sangat bergantung pada pertanian tradisional.
Selain itu, ketimpangan ekonomi global memperburuk dampak krisis ini. Negara-negara miskin, yang memiliki kontribusi kecil terhadap emisi gas rumah kaca, justru paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya, wilayah Sahel di Afrika menghadapi kelangkaan air dan degradasi lahan yang memaksa jutaan orang bermigrasi, menciptakan krisis kemanusiaan yang melibatkan pengungsi iklim.
Polikrisis juga memanifestasikan dirinya dalam sistem politik global. Ketidakstabilan geopolitik, seperti perang dan konflik antarnegara, sering kali mempersulit upaya kolektif untuk mengatasi perubahan iklim. Misalnya, konflik di wilayah penghasil minyak sering kali menghambat transisi menuju energi terbarukan.
Rockström menegaskan bahwa untuk mengatasi polikrisis, kita memerlukan “transformasi cepat masyarakat” yang melibatkan perubahan sistemik di tingkat global. Pendekatan ini mencakup inovasi teknologi, penguatan solidaritas internasional, dan adopsi kebijakan yang mendukung keberlanjutan.
Peluang dan Ancaman Era Artificial Intelligence
Era Artificial Intelligence (AI) telah membawa transformasi besar dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, dan mengambil keputusan. Dalam bukunya, Yuval Noah Harari menggambarkan jaringan informasi di era AI sebagai ekosistem yang sangat kompleks, di mana algoritma canggih mengolah data dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. AI memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi di berbagai sektor, namun juga menghadirkan tantangan serius.
Salah satu tantangan utama adalah bias algoritma. Algoritma AI, yang dilatih menggunakan data historis, sering kali memperkuat bias yang ada dalam data tersebut. Misalnya, dalam rekrutmen kerja, AI dapat mereproduksi diskriminasi berdasarkan gender atau ras jika data pelatihan mencerminkan ketidakadilan tersebut. Hal ini berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Di sisi lain, AI memiliki potensi besar dalam mendukung keberlanjutan. Algoritma dapat digunakan untuk memprediksi perubahan iklim, mengoptimalkan penggunaan energi, dan meningkatkan efisiensi rantai pasokan. Misalnya, perusahaan teknologi telah mengembangkan sistem AI untuk memantau deforestasi secara real-time, memungkinkan tindakan pencegahan lebih cepat.
Namun, Harari juga mengingatkan bahwa perkembangan AI yang tidak diatur dengan baik dapat mengancam solidaritas sosial. Algoritma media sosial, misalnya, dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sering kali dengan memperkuat konten yang memecah belah. Hal ini dapat melemahkan rasa persatuan di masyarakat dan menciptakan polarisasi yang lebih dalam.
Era AI memunculkan pertanyaan penting: bagaimana kita memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk mendukung keberlanjutan dan kesejahteraan manusia? Jawabannya terletak pada pengembangan etika AI yang kuat, regulasi internasional, dan pendidikan yang memberdayakan masyarakat untuk memahami dan mengendalikan teknologi ini.
Pilar Solidaritas Sosial Asabiyyah dalam Peradaban
Konsep asabiyyah, yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun dalam karya besarnya “Mukadimah,” merujuk pada solidaritas kelompok atau rasa kebersamaan yang menjadi dasar keberlanjutan peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, peradaban yang kuat dibangun di atas asabiyyah yang kokoh, yang menyatukan individuindividu dalam satu tujuan kolektif.
Asabiyyah berfungsi sebagai pengikat sosial yang mendorong kerja sama, keberanian, dan pengorbanan demi kebaikan bersama. Dalam sejarah, asabiyyah terlihat dalam keberhasilan masyarakat suku untuk membangun kerajaan besar, seperti peradaban Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Solidaritas ini memungkinkan mereka untuk mengatasi tantangan eksternal dan internal.
Namun, Ibnu Khaldun juga mencatat bahwa asabiyyah cenderung melemah seiring dengan waktu, terutama ketika masyarakat menjadi lebih makmur dan individualisme meningkat. Dalam konteks modern, lemahnya asabiyyah dapat dilihat pada polarisasi politik, ketidakpercayaan terhadap institusi, dan meningkatnya konflik sosial di banyak negara.
Di era globalisasi dan AI, asabiyyah menghadapi tantangan baru. Algoritma media sosial, yang memprioritaskan konten sensasional, sering kali memperkuat perpecahan sosial dan melemahkan rasa persatuan. Sebagai contoh, polarisasi politik di beberapa negara sering kali dipicu oleh disinformasi yang tersebar luas melalui platform digital.
Untuk mempertahankan peradaban yang kuat, penting untuk membangun kembali asabiyyah dengan cara yang relevan dengan konteks saat ini. Pendidikan, dialog antarbudaya, dan teknologi yang mempromosikan inklusivitas dapat menjadi alat penting dalam memperkuat solidaritas sosial.
Arah Global Sustainability: Menuju Indonesia Emas atau Cemas?
Dalam menghadapi polikrisis dan era AI, apakah masyarakat global bergerak menuju keberlanjutan global atau justru sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada kemampuan kita untuk mengintegrasikan transformasi teknologi dengan nilai-nilai keberlanjutan dan solidaritas sosial.
Transformasi teknologi yang dipimpin oleh AI memiliki potensi besar untuk mendukung keberlanjutan global. Dengan memanfaatkan AI untuk mengelola sumber daya alam secara efisien, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan ketahanan pangan, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Namun, jika teknologi ini tidak diatur dengan baik, kita berisiko menciptakan ketimpangan yang lebih besar dan memperburuk krisis sosial.
Bagi Indonesia, pertanyaan besar adalah apakah negara ini dapat memanfaatkan momentum transformasi global untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan populasi muda yang dinamis, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam keberlanjutan global. Namun, tantangan seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan degradasi lingkungan perlu segera diatasi.
Penting untuk mengadopsi pendekatan holistik yang mengintegrasikan teknologi, kebijakan, dan nilai-nilai sosial. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Apakah dunia menuju keberlanjutan global atau tidak sangat tergantung pada pilihan yang kita buat hari ini. Dengan mengambil langkah yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat menghindari krisis, tetapi juga menjadi pelopor dalam membangun masa depan yang berkelanjutan, menuju Indonesia Emas yang sesungguhnya.