
Foto sampah berserakan di Malioboro. Shutterstock/M. Rinandar Tasya
Jelang libur Lebaran 2025, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berupaya mengantisipasi sampah. Persoalan ini memang bukan hal baru.
Yogyakarta yang menjadi tujuan wisata saban musim libur dan hari raya, biasanya punya masalah sama yang berulang; sampah. Kini, persoalan itu diatasi dengan membuka Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan yang sebelumnya ditutup Desember 2024, sebagai TPA darurat alias sementara.
Sebagai daerah tujuan wisata, Pemprov DIY tentu harus pandai menjaga keasrian daerahnya. Seperti, ditegaskan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat peluncuran dan aktivasi program Gerakan Wisata Bersih dari Kementerian Pariwisata, Kamis (23/1/2025) di Pantai Parangtritis, Bantul, DIY.
Sri Sultan menyebut, keberhasilan pariwisata Indonesia, khususnya DIY, harus disertai dengan meningkatkan kualitas dan daya saing destinasi wisata. Salah satunya, dalam hal kebersihan lingkungan di wilayah tersebut.
Tantangan terhadap kebersihan lingkungan selalu ada beriringan dengan tumbuhnya jumlah wisatawan. Pengelolaan sampah yang belum optimal terutama di destinasi wisata, bisa menghambat upaya membuat DIY sebagai daerah tujuan wisata yang unggul.
Pemprov DIY mengambil tindakan TPA darurat ini untuk mengakomodasi upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mengosongkan sejumlah depo sampah strategis, mengantisipasi lonjakan sampah pada periode libur Lebaran 2025.
“TPA Piyungan dibuka sampai Kota Yogyakarta tuntas menyelesaikan persoalan sampah,” ucap Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono usai pemantauan ketersediaan pasokan dan harga jelang Idulfitri di Ngampilan Yogyakarta, Jumat (14/3) dikutip dari laman Pemprov DIY.
Beny menyampaikan, Pemkot Yogyakarta tengah berupaya mengosongkan depo-depo sampah yang berada di tempat strategis. Menurutnya, langkah dan kebijakan yang diambil Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengosongkan depo-depo sampah di Kota Yogyakarta merupakan langkah yang konkret. Setelah depo sudah kosong, rencananya Pemkot Yogyakarta akan membuat manajemen baru untuk penanggulangan sampah di hulu dan hilir.
Mitigasi ini sangat rasional. Menurut survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub), potensi lonjakan pemudik lebih signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pergerakan masyarakat saat mudik Lebaran 2025 diperkirakan mencapai 146,68 juta orang atau sekitar 52% dari total populasi Indonesia.
Dari pergerakan masyarakat tersebut, berpotensi menimbulkan sampah sekitar 73,24 juta kilogram (kg) dari berbagai aktivitas di ruang publik. Jumlah potensi timbulan sampah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2024 yang menghasilkan 58 juta kg sampah dalam masa mudik lebaran.
Penutupan TPA
Penutupan TPA Piyungan sendiri bukan tanpa sebab. Ini terjadi, karena kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menangani sampah, yakni dengan menutup TPA yang masih menerapkan sistem open dumping.
“Sistem pembuangan sampah terbuka secara ilmiah menjadi kontributor utama pencemaran lingkungan multidimensi,” papar Menteri Lingkungan Hidup (KLH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/3/2025).
Pencemaran lingkungan multidimensi karena, mencemari air tanah melalui leachate atau rembesan sampah yang tidak terkendali. Lalu, meningkatkan emisi gas rumah kaca karena menghasilkan metana. Kemudian, mengganggu kesehatan masyarakat sekitar dengan radius dampak mencapai 3-5 kilometer dari lokasi TPA.
Hanif menegaskan, penutupan TPA open dumping adalah amanat Pasal 44 dan 55 UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah daerah diberi waktu lima tahun menutup TPA open dumping setelah UU ini berlaku. Namun, hingga kuartal pertama 2025, teridentifikasi masih ada 343 TPA open dumping. Padahal, sudah ada pedoman bagi pemerintah menyusun kebijakan, yakni Permen LHK Nomor P.10/MENLHK/SETJEN/PLB.0/4/2018 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Tercatat oleh KLH, dari 343 TPA, 306 di antaranya tak kunjung ditutup oleh pemda setempat. Kepada mereka, KLH mengingatkan ancaman sanksi administratif, berupa paksaan menutup berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Juga, menghentikan dana alokasi khusus (DAK) bidang lingkungan hidup dan pencabutan izin TPA dalam jangka waktu 12 bulan sejak notifikasi.
Hasilnya, per 10 Maret 2025 KLH telah menutup setidaknya 40 TPA. Tiga di antaranya ditutup total secara permanen. Ketiga TPA itu adalah TPA Degayu di Kota Pekalongan; TPA Aek Nabobar di Kabupaten Tapanuli Tengah; dan TPA Rate di Kabupaten Ende.
Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Rizal Irawan menguraikan, ketiga TPA yang ditutup permanen itu lokasinya sudah tidak layak. Pasalnya, lokasi ketiganya ada di pinggir pantai dan area bukit, tanpa pengelolaan serius. Selain itu, ketiganya tidak memiliki dokumen dan persetujuan lingkungan.
“Sehingga kami pertimbangkan tutup total, karena pencemarannya luar biasa,” kata Rizal.
Pengaruh Kecil
Direktur Pengelolaan Sampah KLH, Novrizal Tahar meyakini penutupan TPA open dumping tidak akan berpengaruh banyak terhadap pengelolaan sampah di masa mudik dan Lebaran. Pasalnya, yang dihentikan, yaitu proses open dumping atau pembakaran sampah secara terbuka.
“Yang dihentikan praktik open dumping-nya dan daerah diberikan waktu, jadi tidak ada korelasi harusnya. Waktu yang diberikan juga cukup panjang, tergantung sanksi administrasinya, ada yang 3 bulan, ada yang 6 bulan, tergantung kondisi masing-masing,” kata Novrizal singkat kepada Validnews, Senin (24/3) di Jakarta.
Pendiri dan Inisiator Forum Peduli Sampah Seluruh Indonesia (Forpasi), Hadohoan Satyalen Simaremare punya pandangan berbeda. Sejauh penilaian dia, kebanyakan daerah belum siap dalam hal pengelolaan sampah, termasuk di daerah yang terkena penutupan TPA. Sementara itu, timbulan sampahnya akan semakin tinggi di saat ada pergerakan masyarakat.
“Pasti ada pengaruhnya. Bisa jadi penambahan timbulan sampah di daerah. Maka perlu diantisipasi di daerah tujuan,” ujar Hadohoan yang akrab disapa Doan kepada Validnews, Senin (25/3) di Jakarta.
Ia menyayangkan pemerintah pusat dalam hal ini KLH belum memiliki solusi sementara pengganti TPA yang ditutup. Di saat sama, pemerintah daerah tidak siap dan belum memiliki kemampuan untuk menangani situasi yang mendadak seperti ini. Doan menyarankan agar dibangun TPA sementara mengantisipasi lonjakan timbulan, seperti Lebaran. Menurut dia, bisa dibuat kebijakan lahan baru untuk sementara atau memperbaiki pemrosesan secara teknologi.
KLH pun, kata Doan, mesti mendengarkan pemerintah daerah. Lantaran belum memiliki jalan keluar dalam mengantisipasi pengelolaan sampah di saat TPA open dumping ditutup, kecuali membuka kembali TPA tersebut untuk sementara.
Doan menyampaikan, tidak ada solusi instan dalam pengelolaan sampah karena pasti memerlukan anggaran yang tidak kecil. Kecuali, bila membuka lahan TPA baru. Namun, langkah ini dinilai hanya memindahkan masalah lama ke masalah baru.
Doan sepakat bahwa TPA open dumping memang suatu saat akan ada waktunya harus segera ditutup. Namun, pada saat yang sama, ketika ada satu sistem yang diubah oleh pemerintah pusat, harus ada sistem pengganti yang langsung dapat diterapkan di daerah. Misalnya, setelah menutup TPA, beralih ke sistem baru, seperti sanitary landfill, controlled landfil, atau penggunaan teknologi.
Sayangnya,menurut Doan, pemerintah belum menciptakan sistem pengganti setelah penutupan TPA tersebut.
“Info yang saya dengar justru di daerah sedang ada merancang untuk mendorong Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) dan membuat aturan baru. Tapi, masih sebatas isu,” ucap dia.
Ke depan, Doan mendorong dibentuknya Badan Pengelolaan Sampah Nasional agar memberikan panduan teknis kepada pemangku kepentingan dan masyarakat luas terkait pengelolaan sampah, termasuk ketika ada hari-hari besar seperti mudik Lebaran.
Pendapat berbeda disampaikan Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa. Mahawan menilai, penambahan volume timbulan sampah selama lebaran masih ada dalam batas wajar, jika dibandingkan skala nasional.
Artinya, menurutnya, tidak perlu ada TPA sementara karena TPA yang ada masih cukup mampu mengelola dengan infrastruktur yang ada. Meski demikian, beberapa hal khusus perlu dilakukan, seperti peningkatan frekuensi pengambilan sampah; penambahan petugas kebersihan; dan penambahan jumlah tempat sampah.
“Nah, kalau TPA ditutup, tidak ada pilihan lain, harus ada TPST yang menangani pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang sampai pengelolaan dan pemrosesan akhir sampah. Tidak ada pilihan lain,” urai Mahawan kepada Validnews, Senin (24/3) di Jakarta.
Mahawan berpendapat, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) atau TPPAS tetap memerlukan anggaran untuk pembangunan. Maka, cara lainnya adalah pengembangan Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang bisa melakukan daur ulang, penggunaan ulang, dan pengelolaan sampah.
“Jadi, tidak hanya ditampung supaya nanti ketika dibawa ke TPA atau TPST sudah makin sedikit jumlah volume sampahnya,” imbuh Founder Environment Institute ini.
Harapannya, volume sampah yang datang ke TPA atau TPST jauh lebih kecil dengan jumlah sampah yang diproses sehingga timbulan sampah ikut berkurang karena lebih banyak yang diproses. Efeknya, tidak akan ada sampah menggunung.
Sejalan dengan itu, keberadaan TPA tetap diperlukan untuk pengolahan sampah. Maka, kebijakan penutupan TPA open dumping harus sangat memperhatikan kesiapan pengembangan TPST dan infrastuktur di TPST, termasuk kesiapan di unit bisnis dan kawasan.
“Jadi, kalaupun ditutup jangan sampai enggak ada TPA, tapi dibangun TPST,” tutur Mahawan.
Manajemen Sampah
Di Provinsi Jawa Barat (Jabar), Sekretaris Daerah Provinsi Jabar, Herman Suryatman mengingatkan pengelolaan sampah kabupaten dan kota di provinsi itu tetap beroperasi selama lebaran. Terkait penutupan TPA open dumping, Herman berharap kebijakan tersebut disertai juga dengan langkah alternatif. Ia menilai jika tidak ada langkah alternatif maka akan berbahaya terkait pengelolaan sampahnya.
“Telah disepakati tidak boleh ada penambahan volume sampah ke TPPAS regional pada hari raya. Justru, hari raya ini barometer untuk melihat manajemen pengelolaan sampah kabupaten/kota,” ujar Herman kepada Validnews, Sabtu (22/3).
Kendati demikian, Herman menyebut Pemprov Jawa Barat sedang melakukan perbaikan dan rehabilitasi Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti, Bandung Barat, khususnya perbaikan pada pengelolaan limbahnya.
“Perluasan juga sudah dilakukan, tinggal pasang membrane, Mudah-mudahan bulan Mei udah bisa operasional. Sehingga performa layanan sampah TPPAS Sarimukti di 2025 ini akan jauh lebih baik,” ungkap Herman.
Herman meyakini, Jawa Barat belum termasuk sebagai daerah darurat sampah. Namun, potensi menuju ke status darurat sampah sangat besar karena kapasitas di TPS dan TPA yang ada semakin meningkat terus, khususnya bagian Bandung Raya. Dia menyarankan agar ada penyelesaian masalah di hulu, yaitu dengan perubahan kebiasaan masyarakat untuk kesadaran food waste atau zero waste, dengan mengurangi atau daur ulang sampah.
Menurut dia, perubahan kebiasaan tersebut merupakan solusi yang paling murah dan efektif. Pengendalian di hilir memerlukan anggaran tidak sedikit, karena perlu teknologi pengolah sampah.
“Jadi lebih ke penyelesaian sosial di hulu, tapi disadari memang itu berat,” ucap Herman.
Dia menambahkan, TPA yang ada di Jawa Barat relatif masih bisa beroperasi dengan baik. Namun, Pemprov Jabar tetap antisipasi mengelola sampah selama libur Lebaran 2025.
Sementara, tak jauh dari Jawa Barat, Pemerintah Kota Pekalongan resmi menetapkan status ‘darurat sampah’. Ini dilakukan usai Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu.
Masa darurat sampah bahkan ditetapkan selama enam bulan, dari 21 Maret hingga 21 September 2025. Penutupan ini juga menimbulkan pro-kontra. Kalangan yang kontra menilai, keputusan ini tak tepat di saat jelang hari raya.
“Surat Keputusan Walikota masa tanggap darurat sampah bernomor 600.4.15/0556 tahun 2025,” kata Wali Kota Pekalongan Achmad Afzan Arslan saat melakukan konferensi pers di Pekalongan, Jumat (21/2/2025).
Wali Kota Afzan menegaskan, semua warga, pelaku usaha, hingga pasar tradisional untuk mengubah mindset, sistem, dan program pengelolaan sampah.
Sebaliknya, banyak pemerintah daerah, di tingkat pertama maupun kedua, kini kembali menyerukan antisipasi sampah di hari raya. Kebanyakan menyerukan agar warga tak konsumtif dan membuang-buang makanan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH, total terdapat 33,34 juta ton timbulan sampah yang dilaporkan 307 kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk periode 2024. Dari jumlah tersebut, 39,41% di antaranya merupakan sisa makanan sebagai jenis sampah terbesar atau food waste. Kemudian, di posisi kedua adalah jenis sampah plastik dengan komposisi 19,55%.
Source: Valid News