Published On: 26 February 2025
Mahawan Karuniasa


Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Founder/CEO Environment Institute Indonesia, Anggota Indonesia Stakeholder Steering Group (ISSG) Southeast Asia Framework for Ocean Action on Mitigation (SEAFOAM).

Saat ini, Bumi menghadapi tiga tantangan besar yang dikenal sebagai triple planetary crisis: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Ketiga krisis ini saling terkait dan berdampak besar pada keberlanjutan ekosistem serta kehidupan manusia.

Perubahan iklim, sebagai ancaman global utama, telah menyebabkan suhu rata-rata global meningkat lebih dari 1,4°C sejak era pra-industri hingga tahun 2023 (Badan Meteorologi Dunia). Akibatnya, bencana seperti banjir, kekeringan, dan badai menjadi lebih sering, mengancam jutaan nyawa dan mata pencaharian.

Hilangnya keanekaragaman hayati juga mengkhawatirkan. Laporan PBB (2022) menyebutkan bahwa sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi dan urbanisasi. Polusi, di sisi lain, memperburuk situasi. WHO mencatat bahwa 99% populasi dunia menghirup udara yang tidak memenuhi standar kualitas, meningkatkan risiko penyakit pernapasan.

Ketiga krisis ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi, menuntut aksi kolektif yang cepat dan terintegrasi.

Perlunya Transformasi Cepat

Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), transformasi masyarakat secara cepat adalah kunci menghadapi triple planetary crisis. Perubahan radikal dalam energi, transportasi, dan sistem pangan menjadi penting untuk mencapai target seperti pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 45% pada 2030 (IPCC).

Di sektor keanekaragaman hayati, 75% daratan telah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia (UNEP). Perubahan tata guna lahan dan perlindungan habitat alami menjadi langkah kritis. Demikian pula, polusi membutuhkan pendekatan baru, seperti transisi menuju ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya.

Hasil studi Climateworks Centre menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, lamun, dan rumput laut tidak hanya penting untuk keanekaragaman hayati tetapi juga memiliki potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan memanfaatkan solusi berbasis laut dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian target net-zero emisi. Untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan, diperlukan tindakan segera untuk melindungi, memulihkan, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada ekosistem laut ini.

Transformasi ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan kebijakan, perilaku, dan budaya. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Indonesia dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia 2025-2045 menetapkan agenda transformasi, termasuk target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. Namun, pertumbuhan ini harus dicapai tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Deforestasi, yang masih terjadi lebih dari 100 ribu hektar per tahun, dan penurunan kualitas udara di perkotaan akibat polusi, menjadi tantangan utama. Pada saat yang sama, sektor kelautan Indonesia, yang kaya akan ekosistem seperti mangrove dan terumbu karang, menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim dan aktivitas manusia. Dalam hal ini, climateworks centre, Lembaga pemikir iklim Universitas Monash, hadir untuk mendorong Solusi berbasis alam yang tidak hanya berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga memberikan manfaat bagi mitigasi dan adapasi perubahan iklim.

Mengintegrasikan kebijakan ekonomi hijau, perlindungan lingkungan, dan inovasi teknologi menjadi langkah penting untuk mencapai visi Indonesia berkelanjutan pada 2045.

Langkah Konkret Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Climateworks centre, merupakan lembaga yang berfokus pada aksi sistemik penanggulangan perubahan iklim Universitas Monash, melalui Laporan Net Zero Foundations (2024) menunjukan bahwa Langkah transisi menuju emisi nol bersih dapat memberikan manfaat ganda: mengurangi jejak karbon sekaligus meningkatkan kualitas udara di perkotaan. Upaya ini dapat diwujudkan melalui elektrifikasi transportasi, penggunaan energi terbarukan, dan penerapan teknologi bersih di sektor industri.

Kebijakan yang mendukung pengurangan emisi tidak hanya menargetkan mitigasi perubahan iklim tetapi juga menciptakan kota yang lebih sehat bagi penduduknya. Dengan mempercepat implementasi strategi ini, kualitas udara yang lebih bersih dapat tercapai, mengurangi beban kesehatan masyarakat, serta mendukung keberlanjutan lingkungan.

Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia ingin menjadi negara maju, semakin cepat semakin baik tentunya, namun pada saat yang bersamaan dunia menghadapi Triple Planetary Crisis, kondisi sistem Bumi tidak stabil, termasuk di Indonesia yang berpotensi mengganggu perekonomian nasional. Target mencapai pertumbuhan ekonomi 8% di tahun 2029 menjadi agenda yang baik jika tidak disertai trade-off dengan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Keberlanjutan Bumi Indonesia menjadi syarat tercapainya visi Indonesia berkelanjutan di tahun 2045, jangan sampai agenda 5 tahun kedepan memperpanjang masa pencapaian Visi Indonesia Emas. Pemimpin butuh memiliki sustainability quotient dengan paradigma systems thinking karena semuanya saling berkaitan, everything is connected.


*) Oleh: Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Founder/CEO Environment Institute Indonesia, Anggota Indonesia Stakeholder Steering Group (ISSG) Southeast Asia Framework for Ocean Action on Mitigation (SEAFOAM).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

Source: Times Indonesia

Share this information!

Leave a Reply