Perubahan iklim global semakin nyata terasa, ditandai dengan seringnya terjadi bencana hidrometeorologi. Plastik dan fast fashion menjadi ancaman. Sedikit yang sadar akan ini.
Kekhawatiran terhadap iklim semakin nyata. Suhu global terus meningkat, cuaca menjadi tak menentu, dan bencana alam lebih sering terjadi di berbagai belahan dunia.
Tengok saja di sekitar kita. Anda pasti sulit untuk menerka, jika cuaca pagi nan cerah, bisa begitu cepat berganti hujan.
Tak pantas kita sebagai masyarakat dunia untuk menyalahkan atau mencari siapa yang paling bertanggung jawab atas kondisi ini. Sebab, kita sendirilah penyebabnya. Kebiasaan-kebiasaan kita yang turut menyumbang terjadinya krisis iklim.
Konsumerisme yang tak terkendali dan kurangnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan menjadi isu besar dalam koridor perubahan iklim. Hal itu yang kemudian disadari Mita, seorang karyawan swasta yang tinggal di kota besar, Jakarta. Sebagai penggemar belanja online, ia kerap tak bisa menahan godaan diskon besar-besaran.
Hampir saban waktu, paket-paket yang dibungkus bubble wrap dan kantong plastik datang ke rumahnya, tanpa menyadari betapa besar dampak sampah yang ia tinggalkan setelahnya. Plastik-plastik itu berakhir di tempat sampah, menunggu untuk dibawa ke pembuangan akhir. Ia sadar, plastik-plastik ini tidaklah mudah terurai alam.
“Dulu nggak pernah mikirin soal sampah plastik dan dampaknya terhadap lingkungan. Tapi sekarang, setelah membaca banyak artikel tentang perubahan iklim dan dampak limbah dari industri fast fashion, saya jadi merasa bersalah,” ujar Mita kepada Validnews pada Rabu (13/11).
Kini, dia benar-benar sadar bagaimana sampah plastik dan limbah tekstil yang dihasilkan dari kepuasannya berbelanja, memiliki dampak sangat besar pada iklim. Sekarang, Mita mencoba untuk lebih bijak dalam berbelanja.
“Saya mulai berhenti membeli pakaian yang tidak saya butuhkan dan lebih memilih untuk mendukung merek yang ramah lingkungan, terlebih khusus lokal. Saya juga sudah mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan lebih sering membawa tas belanja sendiri,” jelasnya.
Berbeda dengan Mita, Revina Paulina, seorang pekerja kreatif berusia 25 tahun, masih menganggap bahwa isu sampah plastik dan fast fashion atau kebiasaan belanja pakaian tak berpikir panjang, bukan tanggung jawabnya. Pandangannya, masih banyak pihak yang seharusnya mengambil tanggung jawab tersebut.
“Saya tahu sih sampah plastik itu masalah besar, tapi kan nggak semua bisa saya kontrol. Lagipula, saya hanya satu orang. Apa bedanya kalau saya berhenti belanja online atau tetap beli pakaian baru?” ujar Revina dengan santai saat berbincang dengan Validnews, Jumat (15/11).
Sebagai seseorang yang aktif di media sosial, Revina sering tergoda oleh tren fesyen terbaru dan diskon besar-besaran dari toko online. Setiap bulan, ia mengunggah foto dengan outfit baru, lengkap dengan hashtag #OOTD.
Meski paham ada sampah yang tak teruai dari kebiasaannya itu, menurutnya, masalah ini seharusnya diselesaikan oleh perusahaan besar, bukan individu seperti dirinya. Revina juga tidak terlalu peduli dengan bagaimana pakaiannya diproduksi.
Ketidakpedulian Revina mencerminkan sikap sebagian besar masyarakat yang merasa kontribusi individu terhadap isu lingkungan terlalu kecil untuk membawa perubahan. Mereka tahu perubahan iklim adalah ancaman nyata, tetapi enggan mengubah gaya hidup karena merasa dampaknya tidak signifikan.
Sikap kontras antara keduanya ini akhirnya menyadarkan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Kisah Mita dan Revina menunjukkan dua sisi realitas konsumerisme. Ada yang sadar dan berupaya melakukan perubahan, tapi masih banyak juga yang terjebak dalam pola pikir bahwa tanggung jawab ini bukan milik mereka.
Perubahan Iklim Karena Sampah Plastik
Menanggapi isu yang ada, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Tiza Mafira menjelaskan,perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh sampah plastik, mulai dari proses produksi hingga pengelolaannya setelah digunakan.
“Plastik berasal dari minyak dan gas, yakni bahan bakar fosil. Prosesnya dimulai dari ekstraksi minyak dan gas yang kemudian diolah menjadi bahan kimia, lalu menjadi biji plastik, hingga akhirnya diubah menjadi berbagai produk plastik,” tutur Tiza saat dihubungi Validnews, Selasa (12/11).
Setelah digunakan, plastik memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Plastik yang dibakar menghasilkan emisi berbahaya. plastik yang dibuang ke TPA menghasilkan gas metana atau gas rumah kaca yang sangat berkontribusi terhadap pemanasan global.
“Gas ini dilepaskan setiap detik di TPA dan memperburuk emisi karbon,” tambahnya.
Tiza menegaskan, kontribusi plastik terhadap emisi gas rumah kaca sangat signifikan. Oleh karena itu, pengurangan penggunaan plastik tidak hanya relevan tetapi juga menjadi langkah penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
“Mengurangi plastik berarti turut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi lingkungan kita,” jelasnya.
Dari permasalahan sampah yang semakin mengkhawatirkan, lantas efektifkan daur ulang?
Komunitas Diet Kantong Plastik sendiri mendorong pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, apalagi yang terbuat dari bahan sulit terurai. Solusinya, kata dia, menggantinya alternatif guna ulang.
Guna ulang sendiri merupakan praktik penggunaan kembali barang atau produk yang telah digunakan sebelumnya, dengan tujuan mengurangi limbah dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Berbeda dengan daur ulang yang melibatkan proses pemrosesan dan pengolahan ulang bahan untuk membuat produk baru, guna ulang lebih berfokus pada pemanfaatan barang yang sudah ada tanpa perlu mengubah bentuknya.
“Karena apapun yang digunakan sekali pakai, baik itu plastik, kertas, maupun kaca akan menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak hanya dalam bentuk emisi, tetapi juga melalui ekstraksi sumber daya alam. Setiap kali produk sekali pakai diproduksi, sumber daya baru harus diekstraksi yang memperburuk krisis iklim yang sedang terjadi,” papar Tiza.
Sementara itu, daur ulang yang ada saat ini, meskipun lebih baik daripada membuang barang, tetap membutuhkan energi yang intensif. Pasalnya, masih melibatkan mesin dan proses yang mengkonsumsi banyak sumber daya.
Sementara itu, sistem guna ulang atau reuse, tuturnya, hanya memerlukan pencucian, yang jelas lebih efisien dalam hal penggunaan energi dan air. Bahkan, air yang digunakan untuk sistem guna ulang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan air yang diperlukan dalam proses daur ulang.
Melalui program Guna Ulang yang dilakukan Diet Kantong Plastik sendiri berhasil mendorong pelarangan kantong plastik sekali pakai di lebih dari 100 kota dan kabupaten di Indonesia. Mereka juga tengah bekerja sama untuk menyusun peraturan baru yang akan menerapkan sistem guna ulang di seluruh Indonesia.
Satu hal yang mereka gaungkan adalah hidup ramah lingkungan tidak harus mahal. Konsep guna ulang mengedepankan prinsip tidak perlu membeli barang baru jika yang lama masih layak pakai.
“Ada mitos yang mengatakan bahwa untuk hidup ramah lingkungan, kita harus membeli barang-barang mahal, padahal yang paling ramah lingkungan adalah memanfaatkan apa yang sudah kita miliki,” tegasnya.
Kontribusi Fast Fashion
Fast fashion sendiri didefinisikan sebagai industri yang terus-menerus menciptakan tren baru, mendorong konsumen membeli pakaian lebih banyak daripada kebutuhan normal mereka. Pola ini menyebabkan konsumsi sumber daya yang sangat besar dalam setiap tahap produksi pakaian.
Jeanny Primasari dari Zero Waste Nusantara mengatakan, sebagian besar produk fast fashion terbuat dari material seperti poliester yang bahan dasarnya berasal dari plastik, yaitu minyak bumi.
“Proses ekstraksi dan pengolahan minyak bumi ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Selain itu, industri ini sering kali melibatkan transportasi lintas negara dari pengadaan material di satu negara, produksi di negara lain, hingga distribusi ke pasar global yang meninggalkan jejak karbon signifikan akibat transportasi tersebut,” jelas Jeanny kepada Validnews, Kamis (14/11).
Sayangnya, setelah barang itu dibeli, trennya cepat ditinggalkan karena muncul gaya mode baru, meskipun masa pakainya belum habis. Ini menghasilkan limbah dalam jumlah besar, dengan sebagian besar pakaian berakhir di tempat pembuangan akhir.
Lebih parah lagi, banyak limbah fesyen yang diekspor ke negara lain, terutama negara-negara berkembang yang sering kali tidak memiliki kapasitas pengelolaan sampah memadai. Bahkan, menurutnya, jika pakaian ini dijual kembali sebagai barang bekas, sebagian besar tetap tidak terjual dan akhirnya menumpuk, memperburuk masalah limbah global.
“Sehingga fast fashion dapat menciptakan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan dan mempercepat degradasi lingkungan secara global,” tegasnya.
Bencana Hidrometeorologi Terjadi Drastis
Laporan yang diterbitkan oleh Global Fashion Agenda dan McKinsey & Company tahun 2018 menyebutkan, industri fesyen bertanggung jawab atas 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca yang setara dengan 4% dari total emisi global. Studi ini menemukan, 70% dari emisi industri fesyen berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan.
Jika tidak ada tindakan lebih lanjut, diperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri fesyen akan meningkat menjadi hampir 2,7 miliar ton per tahun pada tahun 2030.
Sementara itu, Program Lingkungan PBB mengungkapkan bahwa manusia menghasilkan hampir 400 juta ton sampah plastik setiap tahun. Jumlah ini hampir setara dengan berat seluruh populasi manusia.
Kelompok lingkungan juga melaporkan bahwa jumlah sampah plastik yang dihasilkan pada awal 2000-an meningkat signifikan, dibandingkan dengan total sampah plastik selama 40 tahun sebelumnya. Di seluruh dunia, diperkirakan 1 juta botol plastik dibeli setiap menit, dan setengah dari semua plastik yang diproduksi dirancang untuk penggunaan sekali pakai.
Kemudian, pada 2050, produksi plastik primer global diperkirakan akan mencapai 34 miliar ton, memperburuk masalah sampah plastik yang saat ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi keberlanjutan lingkungan.
Dikatakan oleh Mahawan Karuniasa selaku Pakar Lingkungan Universitas Indonesia (UI), secara tidak langsung limbah-limbah tersebut berdampak bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat di Indonesia dan dunia.
“Di Indonesia, lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologis seperti tanah longsor, banjir, angin puting beliung, dan angin ekstrem. Dan bencana ini terus semakin parah,” ungkap Mahawan kepada Validnews, Selasa (12/11).
Dia menyebutkan, sekitar 20 tahun lalu, kejadian bencana ini hanya terjadi sekitar 150 per tahun. Namun, pada tahun 2023, jumlahnya sudah lebih dari 5.000 kejadian. Itu artinya, jumlah terjadinya bencana telah berlipat ganda dan ini adalah salah satu tanda nyata dari perubahan iklim yang dirasakan.
Ia mengungkapkan bahwa bencana-bencana serupa kini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Misalnya, banjir ekstrem yang terjadi baru-baru ini di Valencia, Dubai, Yunani, China, serta wilayah Eropa Barat, yang disebabkan oleh fenomena hujan super.
“Hujan super adalah curah hujan sangat tinggi dalam waktu yang singkat. Misalnya, kejadian di Valencia yang harusnya mengalami curah hujan dalam satu tahun, saat ini terjadi dalam waktu hanya 8 jam. Selain itu, kita juga menghadapi cuaca ekstrem,” tuturnya.
Di Indonesia, sering disebutkan dalam beberapa laporan bahwa suhu panas dapat mencapai 35, 37, bahkan 40 derajat Celsius. Itu adalah suhu yang luar biasa dan hal tersebut merupakan akibat dari perubahan iklim.
Kesadaran Masih Minim
Tiza membeberkan, tantangan terbesar dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai adalah kenyataan bahwa masyarakat tidak melihat adanya opsi alternatif.
“Mereka tidak membayangkan bahwa kita tidak perlu menghasilkan sampah sebanyak ini,” ucap Tiza.
Sebagai contoh, konsep guna ulang yang dilakukan kelompoknya sering kali dianggap tidak mungkin diterapkan pada produk-produk sehari-hari seperti logistik, sabun, sampo, kecap, dan lainnya. Hal ini terjadi karena minimnya pilihan guna ulang di pasar saat ini yang membuat masyarakat tidak dapat membayangkan bahwa alternatif ini benar-benar bisa diterapkan.
Mahawan pun mengamini hal itu. Kesadaran masyarakat masih sangat minim dan ini sering kali hanya muncul setelah terjadinya bencana. Sering kali masyarakat hanya fokus pada dampak langsung, seperti banjir, tanpa memahami bahwa bencana-bencana tersebut merupakan akibat dari perubahan iklim yang sudah berlangsung.
Ia mengatakan, ketika terjadi bencana, banyak pihak yang mulai mensosialisasikan pentingnya memahami perubahan iklim. Namun, perhatian terhadap isu ini sering surut setelah bencana selesai.
“Di sinilah pentingnya sosialisasi dan advokasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim dan bagaimana kita bisa berkontribusi untuk menghadapinya,” jelas Mahawan.
Perubahan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada pengetahuan. Oleh karena itu, masyarakat harus disadarkan akan kebiasaan-kebiasaan yang berkontribusi terhadap emisi, seperti penggunaan kendaraan bermotor dan konsumsi listrik yang berbasis bahan bakar fosil.
“Namun, perubahan kebiasaan ini tidak mudah, karena sistem ekonomi saat ini memfasilitasi penggunaan sumber daya yang merugikan lingkungan. Misalnya, kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil dan listrik masih banyak berasal dari pembangkit berbahan bakar batu bara,” sebutnya.
Bahkan ketika masyarakat mulai beralih ke kendaraan listrik, masih ada yang menentang dengan anggapan bahwa kendaraan listrik hanya memindahkan polusi dari knalpot ke pembangkit listrik. Padahal, kendaraan listrik justru mengurangi emisi di jalan karena tidak menghasilkan gas buang seperti kendaraan berbahan bakar fosil.
Mahawan mengingatkan, untuk menghadapi perubahan iklim, setiap orang harus lebih sadar akan peran dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal itu dimulai dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara lebih luas.
“Kesadaran ini adalah langkah pertama untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin nyata,” sebutnya.
Perlu Aksi Nyata Sederhana
Langkah nyata yang perlu dilakukan dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim dan keberlanjutan adalah dengan memberikan edukasi yang efektif kepada masyarakat. Menurut Mahawan, penting bagi pemerintah dan tokoh masyarakat untuk menjadi contoh dan panutan dalam perubahan ini.
“Pemerintah harus sering menyuarakan pentingnya perubahan gaya hidup ini, terutama dengan adanya pemerintahan baru. Kementerian yang bertanggung jawab atas lingkungan hidup, energi, dan kehutanan, harus menunjukkan contoh konkret tentang bagaimana hidup yang lebih berkelanjutan itu seharusnya,” katanya.
Mahawan mencontohkan, pejabat yang menggunakan kendaraan listrik produksi dalam negeri dapat menjadi pemicu perubahan perilaku di masyarakat. Dengan demikian, melalui kesadaran yang dibangun dari contoh yang diberikan oleh pejabat, masyarakat dapat lebih sadar dan terdorong untuk mengubah kebiasaan mereka sehari-hari.
Selain itu, Jeanny menekankan pentingnya konsep slow fashion, yang merupakan kebalikan dari fast fashion. Slow fashion mengajak masyarakat untuk membeli barang berkualitas tinggi yang dirancang untuk tahan lama dan memperhatikan perawatan yang benar agar barang tersebut dapat bertahan lebih lama.
“Jika dilakukan dengan sembarangan, pakaian bisa cepat rusak. Misalnya, pakaian berwarna yang diberi pemutih atau pembersih dengan zat kimia yang terlalu kuat, seperti bahan terlalu asam dapat merusak serat kain, membuatnya menjadi lebih tipis, mudah bolong, dan cepat rusak,” katanya.
Oleh karena itu, penting untuk membeli pakaian dengan kualitas yang baik dan merawatnya dengan benar. Jika kancing pakaian hilang, jangan langsung dibuang, tetapi gantilah dengan yang baru.
Bahkan, jika pakaian mengalami kerusakan seperti bolong, Anda masih bisa menambalnya untuk memperpanjang masa pakainya. Dengan merawat pakaian dengan baik, Anda tidak hanya menjaga kualitas barang, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan limbah dan keberlanjutan.
Kampanye tentang slow fashion, jika berhasil mengedukasi masyarakat dapat mengurangi pemborosan sumber daya yang terjadi di industri fesyen dan mendukung keberlanjutan.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Mita dengan melakukan langkah kecil dapat menciptakan perubahan besar, terutama dalam mengurangi sampah plastik dan memilih produk yang lebih ramah lingkungan. Tindakan sederhana ini, jika dilakukan bersama-sama, dapat menghasilkan perubahan signifikan.
Saatnya masyarakat untuk lebih peduli terhadap pilihan yang dibuatnya setiap hari. Pasalnya, dampak konsumerisme yang tak terkendali dan industri fast fashion tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk perubahan iklim.
Setiap produk yang dipilih dan setiap barang yang dibeli berkontribusi pada emisi karbon, degradasi sumber daya alam, dan polusi yang mempercepat pemanasan global. Semua ini mengancam ekosistem, keberlanjutan alam dan masa depan generasi mendatang.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Sumber: ValidNews