Published On: 6 October 2023

Teknisi memeriksa panel pada proyek PLTS Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini berkapasitas 192 MWp dan mampu memproduksi 245 juta kWh energi bersih per tahun serta melistriki lebih dari 50.000 rumah. Dengan demikian, emisi karbon dapat ditekan hingga lebih dari 200.000 ton per tahun.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA (YGA)
26-09-2023

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memerlukan pendanaan hingga lebih dari Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030, termasuk untuk agenda transisi energi. Pencukupan pendanaan ini memerlukan dukungan dan peran banyak pihak, termasuk perbankan, karena keterbatasan anggaran dari pemerintah pusat dan daerah.

Hal tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk ”Pendanaan Berkelanjutan untuk Transisi Energi” yang diselenggarakan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL-UI) di Kampus SIL-UI, Jakarta, Jumat (6/10/2023).

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto mengatakan, negara berkembang, termasuk Indonesia, tetap berkomitmen untuk menurunkan emisi dan melakukan transisi energi, tetapi dengan cara yang tidak tergesa-gesa. Berbeda dengan negara maju, Indonesia masih memerlukan pembangunan.

Semua target pembangunan tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan pendanaan APBN atau APBD.

”Dalam salah satu klausul transisi energi, Indonesia memelopori satu pendekatan baru bernama pensiun dini PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara. Jadi, PLTU dimatikan, tetapi tidak saat itu juga, tetapi secara pelan-pelan,” ujarnya.

Berdasarkan hitungan Laporan Pembaruan Dua Tahunan (Biennial Update Report/BUR), Indonesia memerlukan pendanaan hingga lebih dari Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan dokumen kontribusi nasional (NDC) pada 2030.

Deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021). Sebagian besar dari 48 kincir angin yang dibangun pada 2013 lalu itu hingga kini masih berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekitar.
Kompas/Wawan H Prabowo

Pendanaan yang sangat besar untuk mencapai target penurunan emisi tersebut kerap hanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Daerah (APBN dan APBD). Padahal, pendanaan dari APBN dan APBD untuk penurunan emisi cukup terbatas dan banyak program pembangunan lain yang juga perlu dikerjakan.

”Semua target pembangunan tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan pendanaan APBN atau APBD. Sementara kapasitas pendanaan dari pemerintah untuk penurunan emisi hanya 34 persen. Oleh karena itu, perlu juga peran perbankan meskipun hal ini sangat bergantung pada kondisi taksonomi hijau yang harus diatur,” katanya.

Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa mengemukakan, laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat, kenaikan suhu Bumi pada September 2023 telah mencapai 1,75 derajat celsius. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi semua pihak untuk mempercepat upaya mitigasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Upaya mengurangi emisi harus seimbang antara negara berkembang dan negara maju. Upaya yang dilakukan tidak bisa sama antara negara berkembang dan maju. Jadi, pendanaan berkelanjutan untuk transisi energi perlu berkeadilan, termasuk di Indonesia,” ujarnya.

Berbeda dengan beberapa negara berkembang di Afrika, Mahawan menilai bahwa Indonesia tidak bisa mendapat bantuan pendanaan secara optimal untuk mempecepat upaya penurunan emisi. Sebab, Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak kaya, tetapi juga tidak miskin. Ini membuat Indonesia mengedepankan upaya kolaborasi dengan pihak lain.

Obligasi hijau

Koordinator Sustainable Development Goals (SDG) Hub UI Triarko Nurlambang mengatakan, obligasi hijau atau obligasi berwawasan lingkungan (green bond) tengah gencar dikembangkan di dunia, termasuk Indonesia. Hasil dari obligasi ini secara eksklusif akan diterapkan pada proyek lingkungan dan sosial yang memenuhi syarat atau kombinasi keduanya.

Menurut Triarko, setiap pengajuan penggunaan obligasi hijau untuk kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) harus berlandaskan rekomendasi ahli lingkungan. Ahli lingkungan ini merupakan pihak perseorangan atau kelompok yang memiliki kompetensi dan keahlian untuk melakukan penilaian, verifikasi, hingga pengujian atas KUBL.

KUBL yang dapat dibiayai dari penerbitan obligasi hijau di antaranya untuk program pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Kemudian, satu tahun setelah diterapkan, hal ini akan dievalusi kembali. Proses evaluasi membutuhkan tenaga ahli untuk menilai apakah perjalanannya sudah sesuai atau belum dengan rencana yang ditetapkan.

”KUBL yang dibiayai green bond ini bisa dihentikan bila tidak berhasil atau level keberlanjutannya tidak baik dan aspek lingkungan menjadi turun. Ini juga perlu didukung dengan pendapat ahli lingkungan,” ucapnya.

 

Sumber: kompas.id

Share this information!

Leave A Comment