Jakarta (Greeners) – Panggung KTT ASEAN yang belum rampung dan beratap ijuk di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur terbakar. Pihak penyelenggara menyebut, hal itu terjadi karena cuaca panas ekstrem. Meski penyebab kebakarannya masih spekulatif, namun pihak event organizer pada acara itu menyatakan suhu di lokasi panas terik.
Menurut Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, suhu panas yang tidak normal mengingatkan masyarakat bahwa kejadian ini tidak terlepas dari perubahan iklim.
“Tentu saja ini merupakan peringatan. Para ahli mengatakan serta merta panasnya di atas rata-rata, tapi sebagian besar itu memecahkan rekor panas tertinggi di setiap negara. Oleh karena, ini tidak terlepas dari perubahan iklim,” kata Mahawan kepada Greeners, Minggu (7/5).
Selain itu, kebakaran juga bisa terjadi dengan tiga sebab yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen. Mulai dari kertas, kayu, benda kering termasuk ijuk. Dengan demikian, para pihak yang melakukan acara juga harus penuh kehati-hatian dan memperhatikan material yang ada.
Dampak Perubahan Iklim
Gelombang panas yang telah melanda di beberapa negara menjadi bukti nyata bahwa kejadian ini merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Para ahli juga menyatakan, panas yang meningkat tidak akan terjadi jika tanpa adanya perubahan iklim.
Mahawan juga menambahkan, belakangan ini suhu permukaan laut mencapai rekornya tertinggi. Dengan demikian, ini semua tidak terlepas dari adanya perubahan iklim yang terjadi dan mengingatkan masyarakat untuk kembali berupaya keras menghadapi perubahan iklim.
Melihat akan hal ini, masyarakat juga perlu hati-hati untuk menjaga kesehatan. Selain itu juga mencegah potensi kebakaran hutan dan lahan.
Di sisi lain, Mahawan menegaskan upaya memitigasi gas rumah kaca harus kita upayakan lebih maksimal. Salah satunya dengan efesiensi energi seperti energi ramah lingkungan dan pengelolaan lahan.
Panas Ekstrem Ancam Lingkungan dan Manusia
Belakang cuaca panas yang sangat terik melanda Indonesia. Bahkan gelombang panas melanda sejumlah negara di Asia Selatan hingga menelan korban jiwa.
India merupakan salah satu negara yang telah terdampak dari gelombang panas suhunya menembus lebih dari 45 derajat Celcius. Tercatat 13 orang meninggal dunia akibat kondisi tersebut. Tak hanya merenggut nyawa manusia, aspal di jalanan ikut meleleh.
Penjuru dunia lainnya juga merasakan hal yang sama, baru-baru ini balita di Malaysia tewas akibat heatstroke. Balita tersebut berusia 19 bulan terkena serangan panas akibat cuaca yang menyengat.
Setelah di autopsi, di dalam tubuh anak tersebut mengalami dehidrasi dengan paru-paru yang sudah menyusut. Hal ini menjadi bukti nyata panas ekstrem bisa menyebabkan kerusakan pada organ tubuh.
Panas ekstrem tidak hanya mengancam manusia, tapi juga lingkungan. Melansir National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu laut selama April 2023 mencapai rekor terpanas yakni 21,1 derajat Celcius.
Lalu Kota di Valencia, Spanyol cuaca ekstrem memicu kebakaran yang menghanguskan lebih dari 4.000 hektare hutan pada Maret lalu.
Menurut Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, hal ini menjadi darurat iklim yang umat manusia alami. Secara khusus juga akan merusak banyak negara.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin
Source: greeners.co