APIK Indonesia Network. Secara umum pengendalian perubahan iklim di Indonesia relatif dianggap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan Indonesia berpotensi menjadi salah satu negara percontohan implementasi Paris Agreement, demikian diungkapkan Mahawan Karuniasa, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, upaya perubahan iklim masih dianggap hanya menjadi tugas dan tanggungjawab sektor lingkungan hidup saja. Padahal sebenarnya, upaya mitigasi atau penurunan emisi gas rumah kaca adalah tindakan perubahan perilaku pembangunan, yang melibatkan semua sektor.
Disisi lain masih banyak istilah-istilah ilmiah maupun bahasa konferensi internasional belum diterjemahkan kedalam pamahaman sederhana bagi masyarakat umum dan para pihak. Akibatnya, pemahaman tentang perubahan iklim beserta dampaknya masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan. Persoalan sosial budaya ini mengemuka dalam Workshop Ahli Perubahan Iklim Regional Sulawesi yang bertemakan Dampak Perubahan Iklim di Kawasan Wallacea, yang diselenggarakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Makasar, Rabu, 4 Juli 2018.
Rembuk nasional dan rembuk daerah perubahan iklim dapat menjadi sarana untuk membumikan isu global perubahan iklim kedalam kehidupan sehari-hari yang mudah difahami seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, seluruh pihak, termasuk anggota legislatif maupun para politisi, tokoh masyarakat termasuk masyarakat adat, sektor swasta turut berembuk bersama untuk menghadapi perubahan iklim, dari tingkat nasional sampai tingkat desa atau kampung. Gagasan ini disampaikan Mahawan Karuniasa, selaku Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia, yang menjadi salah satu pembicara. Rembuk perubahan iklim ini juga akan sejalan dengan Talanoa Dialogue yang baru saja dikembangkan UNFCCC. Talanoa sendiri adalah bahasa Fiji yang berarti mencerminkan proses yang inklusif, partisipatif, dan transparan.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dodo Gunawan juga menyampaikan bahwa di masa mendatang, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau atau cuaca ekstrim akan lebih sering terjadi di Indonesia. Di tahun 2016 sendiri bencana hidrometeorologis meningkat 16 kali dibandingkan tahun 2002, artinya selain mitigasi, upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim semakin menuntut untuk dirembuk bersama.