Jurnal34news.com, Jakarta- Pemikiran bahwa Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut berdampak negatif pada ekonomi ternyata bukan kajian yang bersifat komprehensif dan tidak dapat menjadi rujukan kebijakan pengelolaan gambut di Indonesia.
Analisis dan kebijakan ekonomi tentang sumber daya alam dan lingkungan perlu dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi, demikian kesimpulan Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dalam Talk Show “Kebijakan Pengelolaan Gambut di Indonesia Ditinjau Dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial. Acara tersebut diselenggarakan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Kampus UI Salemba Selasa (27/2). Indikator-indikator lingkungan seperti status berbagai sumber daya alam dan jasa lingkungan perlu terus dikembangkan untuk mendukung kajian-kajian pembangunan berkelanjutan yang komprehensif.
Talk Show dihadiri antara lain tokoh lingkungan hidup dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Emil Salim, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, dan Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin.
Berdasarkan penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, Indonesia memiliki ekosistem gambut seluas 24,7 juta hektar, dengan 12,4 juta hektar untuk fungsi lindung dan 12,3 juta hektar untuk fungsi budidaya.
Menurut Emil Salim, praktik membuat kanal untuk mengeringkan gambut ditujukan untuk menaikkan kualitas biji kelapa sawit, padahal gambut kering rawan terbakar.
Timbul konflik antara maksud menaikkan kualitas sawit dengan ancaman kebakaran gambut dan merusak ekosistem gambut. Selanjutnya akibat pembukaan lahan dengan pembakaran lahan, dengan tujuan berbiaya murah, berakibat pada kebakaran lahan gambut besar-besaran seperti di tahun 2015, yang diperkirakan Bank Dunia mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 226,37 triliun rupiah. Tantangan masa depan Indonesia dengan jumlah penduduk yang terus bertambah adalah perencanaan pemanfaatan sumber daya alam yang ramah lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan.
Sementara itu Kepala BRG, Nazir Foead mencatat tiga hal penting pembelajaran dalam restorasi gambut, yaitu kolaborasi para pihak, perlunya menempatkan masyarakat setempat di garda terdepan, dan restorasi gambut dilaksanakan para pemangku kepentingan dalam waktu yang singkat dibawah koordinasi dan fasilitasi BRG. Dalam aspek perubahan iklim, perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sangatlah penting untuk menjamin tercapainya komitmen Indonesia dibawah Paris Agreement, yaitu untuk mengurangi emisi 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41% dengan kemitraan internasional pada tahun 2030. Sedangkan pada tahun 2014 saja, sebelum kebakaran besar tahun 2015, berdasarkan data Third National Communication Indonesia yang telah disampaikan kepada UNFCCC, kontribusi emisi CO2 dari kebakaran gambut mencapai 32% dari total emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau sekitar 17% dari total emisi 1,84 Giga ton CO2 ekuivalen. Namun demikian, melampaui isu perubahan iklim, pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan menjadi keniscayaan untuk keberlanjutan pembangunan dan menyongsong masa depan Indonesia, demikian keterangan Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia.
Hadir juga dalam acara Talk Show tersebut Supiandi Sabiham, Ketua Masyarakat Gambut Indonesia dan Kiki Veriko, Wakil Kepala LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Penulis : Agung
Editor : Witra
Sumber: Jurnal34News.com