Published On: 7 June 2025
Memudarnya warna terumbu karang

Memudarnya warna terumbu karang. Pada satu hingga tiga meter di bawah laut, karang yang memutih terlihat dari pemukiman terdekat. Karang ini terletak di pulau Yensawai Barat, Kepulauan Rajaampat, Papua Barat, Indonesia. Kepulauan Raja Ampat memiliki kekayaan sebagai lumbung ikan, geologi, dan masyarakat adat yang menjaganya. Bagaimana apabila kepulauan ini hilang? Apa saja kerugian kita?
Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Boleh jadi kita adalah orang-orang pelupa—atau mudah untuk melupakan. Satu dekade silam, para pejalan dan petualang begitu gegap gempita memuja keindahan bentang laut dan pesisir Raja Ampat. Kawasan ini digadang-gadang memiliki nilai penting yang menautkan hubungan manusia dan ekologi pesisir. Satu dekade kemudian, kita baru menyadari bahwa kita telah pelan-pelan menghancurkannya.

Mengapa bentang alam Raja Ampat begitu penting? Pertanyaan itu memiliki beragam jawaban, tergantung dari sudut pandang mana kita berpijak. Dalam konteks ekologi, bentang Laut Kepala Burung memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di jantung Segitiga Terumbu Karang, termasuk di dalamnya Raja Ampat dan Teluk Cenderawasih. Hunian bagi lebih dari 600 spesies karang serta 1.700 jenis ikan.

UNESCO menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai Global Geopark pada 24 Mei 2023. Penetapan itu atas dasar pemikiran bahwa kawasan ini memiliki keajaiban luar biasa, yang tidak dijumpai di belahan dunia manapun. Bentang alamnya memiliki keunikan geologi, keanekaragaman hayati, serta keterlibatan masyarakat adat dalam pelestarian pesisir.

Salah satu anggota Kelompok Waifuna, Yolanda Kacili

Salah satu anggota Kelompok Waifuna, Yolanda Kacili, melakukan penyelaman bebas dan mengambil keong lola saat pembukaan sasi di Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kelompok ini dikenal karena pengelolaan tradisional sasi laut yang bertujuan untuk melindungi ekosistem pesisir.
Garry Lotulung/National Geographic Indonesia

Berdasar peta “Bentang Laut Kepala Burung: Suarga Loka di Sudut Nusantara” dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2025, Pulau Gag berada di perairan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau kecil seluas sekitar 6.060 hektare ini menjadi ajang kecamuk pengerukan bijih nikel sejak beberapa dekade silam. Belakangan mencuat pemberitaannya terkait aktivitas pertambangan dan nasib pulau itu.

Pulau ini dikepung tiga kawasan lestari: Di sisi timurnya adalah Suaka Alam Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya; di sisi timur dan selatannya adalah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kepulauan Raja Ampat Area 6 – Kepulauan Fam; dan di sisi utaranya adalah Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut Sekitarnya.

Suaka Alam Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya telah ditetapkan sejak 2009 dan diperbarui pada 2014, yang menjadi salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Perairannya memiliki 1.318 spesies ikan karang dan 533 spesies karang keras, sehingga menjadi pusat perlindungan bagi ekosistem laut yang sangat bernilai.

“Usikan kegiatan manusia di pulau kecil, termasuk di wilayah Raja Ampat perlu kehati-hatian dan terukur, tidak bisa sembrono,” kata Mahawan Karuniasa selaku Board of Expert di National Geographic Indonesia.

Bagian peta Bentang Laut Kepala Burung

Bagian peta Bentang Laut Kepala Burung: Suargaloka di Sudut Nusantara, majalah National Geographic Indonesia Edisi Mei 2025. Pulau Gag di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau ini dikepung tiga kawasan lestari: Di sisi timurnya adalah Suaka Alam Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya, di sisi timur dan selatannya adalah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kepulauan Raja Ampat Area 6 – Kepulauan Fam; dan di sisi utaranya (tidak tampak pada peta) adalah Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut Sekitarnya.
Kartografer: Warsono/National Geographic Indonesia

Menurut Mahawan, kegiatan di pulau kecil dapat langsung berdampak pada ekosistem pesisir yang menjadi tempat bergantung keanekaragaman hayati laut kita. Di sisi lain, ekosistem pesisir juga menyokong ekonomi nasional dan kehidupan masyarakat miskin di pesisir. Artinya, “Aktivitas pembangunan, di manapun berada, berarti menyejahterakan masyarakat terdekat dan melestarikan ekosistem disekitarnya.”

Ia menambahkan, pulau-pulau kecil—seperti di Kepulauan Raja Ampat—memiliki ekosistem yang sensitif dan memiliki sumber daya terbatas. Perubahan iklim, selain mengancam terumbu karang karena meningkatnya keasaman air laut, juga akan menenggelamkan pulau-pulau kita. “Akibat perubahan iklim,” imbuhnya, “diperkirakan pada tahun 2030 Indonesia berpotensi kehilangan 2.000 pulau kecil.”

Mahawan juga mewanti-wanti bahwa saat ini masyarakat global menghadapi tantangan krisis Bumi yang disebut dengan Triple Planetary Crisis, yaitu perubahan iklim, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati termasuk degradasi alam. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan negara megadiversitas turut menghadapi tantangan besar ini.

A.R. Septiana dalam kajiannya untuk IOP Conference Series pada 2024 yang berjudul Implementation of WISE (Wonderful Indonesia Sustainable Tourism) Trips – A Journey Towards Low Carbon Geotourism Activities in Raja Ampat Geopark, mengungkapkan potensi wisata kawasan.

Wilayah Raja Ampat, ungkap Septiana, menarik rata-rata 35.000 wisatawan setiap tahun. Puncaknya adalah 46.375 pengunjung pada 2019—sebesar 52 persen di antaranya wisatawan mancanegara. Akibat pandemi, pertumbuhannya turun lebih dari 90 persen. Namun, pada 2023, sektor ini mulai bangkit, dengan 20.273 kunjungan—sebesar 82 persen di antaranya adalah wisatawan mancanegara.

Jantung ekologi laut dunia

Douglas Fenner melakukan kajian bertajuk “The Ecology of Papuan Coral Reefs” dalam buku The Ecology of Papua. Ia menegaskan, “Data terkini yang paling dapat diandalkan menunjukkan bahwa Papua berada di wilayah dengan keanekaragaman terumbu karang tertinggi, namun keanekaragaman tersebut mulai menurun ke arah timur dari Papua.”

Fenner​ mencoba menjelaskan kemungkinan alasan begitu kayanya keanekaragaman hayati di perairan Segitiga Terumbu Karang, yang ia narasikan dalam beberapa sudut pandang.

Pertama, kawasan ini merupakan pusat terbentuknya spesies baru. Artinya, wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dianggap sebagai tempat di mana spesies baru berevolusi dan muncul lebih sering dibandingkan daerah dengan keanekaragaman rendah.

Warga Raja Ampat

Warga Raja Ampat sudah biasa hidup bersama pari manta dan tidak pernah menangkapnya. Kearifan lokal konservasi yang telah hidup secara turun-temurun.
Donny Fernando

Kedua, suhu yang relatif stabil sehingga tingkat kepunahan kawasan ini lebih rendah. Selama zaman es, misalnya, wilayah Segitiga Terumbu Karang kemungkinan mengalami penurunan suhu permukaan laut yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kawasan Pasifik lainnya. Akibatnya, lebih banyak spesies bertahan di kawasan ini.

Ketiga, arus laut tropis Pasifik membawa spesies baru ke kawasan ini. Arus di Pasifik tropis mengalir ke arah barat, membawa spesies baru bersamanya dan menyebabkan akumulasi spesies di wilayah Segitiga Terumbu Karang.

Keempat, kawasan kepulauan memungkinkan penggantian spesies yang punah dari pulau-pulau sekitar. Teori klasik biogeografi pulau memprediksi bahwa tingginya jumlah spesies di suatu pulau terjadi saat pulau itu berada dekat dengan sumber tambahan spesies.

Hamparan karang kubis Acropodiae

Hamparan karang kubis Acropodiae yang menempel di lereng gunung bawah laut dekat Raja Ampat.
Brian Skerry/National Geographic

Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi penyu sisik (Eretmochelys imbricata), yang kini statusnya kritis dan populasinya terus menurun. Penyu ini diberi status terancam punah oleh IUCN sejak 1982, bahkan kritis sejak 1996. Di perairan Raja Ampat, penyu sisik hadir di Mikes Point di dekat Pulau Mansuar. Untuk melindunginya, pemerintah daerah Raja Ampat menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2012, yang melarang penangkapan, perdagangan, dan kepemilikan penyu sisik. Meski regulasi telah diterapkan, populasi penyu sisik terus menurun drastis—lebih dari 80 persen dalam tiga generasi terakhir—akibat perburuan, perdagangan ilegal, dan kerusakan habitat.

Kawasan terumbu karang Raja Ampat juga menjadi bagian tempat pembiakan alami untuk banyak spesies ikan. Berkat arus laut dari Pasifik dan Laut Banda, ikan-ikan menyebar ke Pasifik Barat. Namun, apabila terumbu karang di kawasan ini rusak, berarti ekosistem laut dunia akan mengalami krisis besar.

Selain itu pari manta karang (Mobula alfredi) turut menjadi penghuni perairan Raja Ampat,  yang statusnya rentan, dan populasi terus menurun. Pari ini cenderung menetap di perairan pesisir dan terumbu karang. Manta Sandy dan Manta Ridge di Raja Ampat menjadi titik penyelaman utama untuk mengamati pari manta karang dalam interaksi pembersihan dengan ikan-ikan kecil. Saat ini dikategorikan sebagai rentan dalam Daftar Merah IUCN sejak 2019. Populasinya kian menyusut akibat penangkapan tak disengaja dalam perikanan, juga degradasi habitat. Pemerintah Indonesia telah menetapkan perlindungan penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang penangkapan dan perdagangan pari manta. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan juga menjadi dasar hukum dalam perlindungan spesies ini.

Duyung (Dugong dugon) yang berstatus rentan, dan populasi terus menurun. Dikenal sebagai sapi laut, inilah mamalia laut herbivora yang bergantung pada lamun sebagai sumber makanan utama. Di Bentang Laut Kepala Burung, praktik sasi dilakukan oleh masyarakat adat dengan cara menerapkan larangan pengambilan teripang yang hidup di antara lamun dalam waktu tertentu. Karena habitat padang lamun sama sekali tak terganggu, kelimpahan lamun pun meningkat. Pada akhirnya, sasi turut menyediakan makanan yang jumlahnya berlimpah ruah bagi penyu dan dugong, demi meningkatkan populasi mereka.

Pusparagam Bentang Laut Kepala Burung

Pusparagam Bentang Laut Kepala Burung. Perairan Papua Barat Daya adalah cermin kemegahan alam tiada terhingga, tempat berlindungnya beragam spesies perairan serta daratan. Wilayah yang termasuk ke dalam Jantung Segitiga Terumbu Karang ini juga merupakan hunian bagi lebih dari 600 spesies karang serta 1.700 jenis ikan.Desain: Heri Cahyadi; Seni: Sandy Solihin.
National Geographic Indonesia

Selain itu bentang Laut Kepala Burung juga menjadi hunian cunding atau kakap merah bungkuk (Lutjanus gibbus), teripang pasir (Holothuria scabra), hiu wobbegong (Orectolobus spp.), kerapu macan atau kerapu bintik (Epinephelus areolatus), dan scleractinia (Lobophyllia radians) yakni karang yang berdaya lenting atau pemulihan setelah mengalami gangguan.

David Wallace-Wells mengungkapkan pentingnya laut dalam satu bab pembahasan di bukunya yang bertajuk The Uninhabitable Earth, Life After Warming. “Terumbu karang menopang sampai seperempat dari seluruh kehidupan laut serta memasok makanan dan penghidupan untuk setengah miliar orang. Terumbu karang juga melindungi dari banjir akibat badai.”

“Sebagai 70 persen permukaan Bumi, laut adalah lingkungan utama planet ini,” tulisnya. Selain memberi makan kita, “laut juga memelihara musim-musim di planet ini, melalui arus yang sudah ada sepanjang sejarah […].”

Kepulauan Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat dengan menara-menara karst yang memukau. Apabila kenaikan suhu mencapai dua derajat celsius, kepulauan ini terancam tenggelam.
Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Teladan etika ekologi masyarakat adat

Raja Ampat bersama Teluk Cenderawasih dan Kaimana, menjadi benteng terakhir biota laut yang terus menghadapi arus perubahan akibat alam dan manusia. Sasi, sasisen, serta egek adalah kearifan yang diwariskan lintas generasi. Tradisi ini mengajarkan kapan laut boleh dimanfaatkan dan kapan harus dibiarkan beristirahat, yang menjadikan kawasan ini cerminan kearifan sepanjang masa.

Dani Kosasih dalam kisah “Tuah Segara dan Janji yang Takkan Sirna” di National Geographic Indonesia edisi Mei 2025, berjumpa dengan Spenyer Malasamuk, tokoh adat suku Moi Malaumkarta, Kabupaten Raja Ampat. Spenyer menuturkan bahwa mereka melakukan ritual egek untuk melindungi kebutuhan warga Malaumkarta. Egek adalah salah satu bentuk konservasi kelautan dengan pendekatan hukum adat. Mereka juga tak ingin orang luar merusak kelestarian alam perairan ini.

“Kami hidup dan bergantung pada laut serta hutan kami. Ini bukan hanya tentang konservasi, tetapi juga tentang keberlanjutan hidup kami dan generasi mendatang,” ujarnya.

Di pesisir Misool Utara, ia berjumpa Ribka Botot, perempuan tangguh dari Kampung Aduwei. Ribka dikenal sebagai pejuang keberlanjutan ekosistem laut, memimpin kelompok perempuan ‘Joom Jak Sasi’, yang menjaga dan mengelola wilayah sasi seluas 265 hektare. Ribka bersama para remaja perempuan dan ibu rumah tangga terlatih menyelam untuk mengambil teripang.

Pendeta Yesaya Kacili

Di pesisir Kapatcol, Misool Barat, Pendeta Yesaya Kacili memberkati upacara pembukaan sasi, budaya masyarakat adat untuk mengendalikan pengambilan hasil laut supaya tetap lestari.
Garry Lotulung/National Geographic Indonesia

Menurut Ribka, seperti dituturkan kepada Dani, kehadiran Joom Jak Sasi mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang dulu hanya menjadi pendamping kini mengambil peran utama, sembari menopang ekonomi. Sasi yang dulu hanya konservasi semata, kini menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan perempuan. Ini sebuah terobosan karena perempuan masih jarang mendapat tempat dalam struktur adat.

Joom Jak Sasi di Misool Utara bukan kelompok perempuan pertama yang peduli konservasi di Kabupaten Raja Ampat. Sebelumnya kelompok perempuan ‘Waifuna’ di Misool Barat telah mengelola kawasan perariran.

Kisah kelompok perempuan ‘Waifuna’ pernah diungkap dalam “Perempuan Penjaga Bahari Papua” oleh Afkar Aristoteles Mukhaer dan fotografer Garry Lotu­lung, terbit untuk edisi Juli 2023.  Mereka menjumpai Almina Kacili, penggerak kelompok perempuan di sana. Kaum perempuan dipercaya untuk menge­lola kawasan perairan konservasi berbasis hukum adat.

Upaya-upaya pelestarian pesisir menjadi penting dan mendesak karena perairan sekitar Raja Ampat menjadi bagian lumbung ikan di Segitiga Terumbu Karang. Masyarakat pesisir menjadi agen utama dalam upaya mencegah penangkapan ikan berlebih karena merugikan secara ekologi dan ekonomi.

Seni cadas

Seni cadas yang menggambarkan masa yang lebih muda ditemukan di Situs Gua Kasam, Misool Timur, Raja Ampat.
Yosua Adrian Pasaribu, Sub Direktorat Registrasi Nasional, Kemendikbud

Kekayaan taman bumi

Pulau Nugini, tempat Papua bersemayam, ditempa oleh alam sejak sekitar 60 juta tahun silam saat mulai bangkit dari dasar lautan. Tumbukan antara lempeng Eurasia (Paparan Sunda), lempeng Indo-Australia (Paparan Sahul) serta lempeng Pasifik, menjelmakan daratan baru tersebut di bagian utara Australia. Seiring waktu, pegunungan nan rumit serta serakan pulau memunculkan sempadan geografis, menciptakan keunikan di ujung Nusantara.

Raja Ampat memiliki kekayaan geologi berupa batuan tertua di Indonesia yang berasal dari era Silur-Devon, sekitar 443,8–358,9 juta tahun silam. Artinya, keberadaan batuan periode ini menunjukkan Raja Ampat hampir sepersepuluh usia Bumi.

“Periode Silurian—yang paling akbar dari semua periode—dan, sejauh ini, tampaknya merupakan masa penaburan bagi semua kehidupan yang akan datang,” ungkap John Jeremiah Bigsby, seorang geolog Inggris, dalam bukunya bertajuk Thesaurus Siluricus: The Flora and Fauna of the Silurian Period yang terbit pada 1868. Menurutnya, periode ini sebagai masa yang sangat penting dalam sejarah kehidupan di Bumi, buaian bentuk kehidupan awal mulai berkembang.

Periode Silur ditandai dengan kemunculan pemulihan kehidupan laut—setelah kepunahan besar. Pada periode ini terumbu karang mulai bermunculan, vertebrata rahang pertama mulai mengisi ekologi laut, sementara di daratan mulai dirambati tumbuhan perintis—semacam lumut dan paku. Raja Ampat adalah sains tentang asal-usul Bumi itu sendiri.

Anak-anak kepulauan Raja Ampat

Anak-anak kepulauan Raja Ampat mengisi hari-hari mereka dengan berenang di laut. Bagi mereka, pekarangan tempat bermain adalah laut.
Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Sementara itu Henry Alleyne Nicholson dalam The Ancient Life History of the Earth, yang terbit pada 1877 mengungkapkan tentang pentingnya Periode Devon. “Salah satu ciri paling khas dari kehidupan Devonian adalah perkembangan besar Vertebrata akuatik, yang begitu mencolok sehingga periode ini sering disebut sebagai Zaman Ikan,” tulisnya.

Periode Devon ditandai kemunculan berbagai jenis ikan, sehingga kerap dijuluki “Zaman Ikan”. Setelah lumu dan paku berkembang, tumbuhan di darat kian kompleks merujuk munculnya pohon pertama dan awal hutan di Bumi. Evolusi satwa laut yang mampu merambah ke daratan yang ditandai dengan kemunculan amfibi pertama.

Mark Cloos, ahli geologi dari University of Texas AS bersama rekan-rekannya mengungkapkan, bahwa sejatinya wilayah Kepala Burung dipengaruhi oleh dua aktivitas tektonik besar. Sejak Kala Eosen (sekitar 55 hingga 33 juta tahun yang lalu) Lempeng Pasifik dengan kecepatan 7,5 sentimeter per tahun di wilayah ini bergerak aktif ke arah barat daya dan Lempeng barat laut Australia dengan kecepatan 10,5 sentimeter per tahun melaju ke arah utara.

Dua pergerakan yang berlangsung hingga detik ini mengakibatkan banyaknya gempa, sekaligus membentuk struktur geologi wilayah Kepala Burung nan kompleks. Aktivitas geologi telah menyebabkan kawasan ini menjadi zona dengan pergerakan tektonik tinggi. Salah satu aspeknya yakni pembentukan batuan ultrabasa dan mafik—dua jenis batuan utama pembawa nikel.

Namun, sejatinya nilai ekologis dan konservasinya jauh lebih tinggi dibanding nilai ekonomi dari galian tambangnya. Atas dasar ekologi, kawasan ini ditetapkan sebagai Global Geoark yang lebih diarahkan untuk pelestarian, bukan eksploitasi. Status ini juga memperkuat komitmen terhadap konservasi dan pelestarian alam dan budaya untuk generasi mendatang.

Geopark Raja Ampat

UNESCO menahbiskan kawasan Raja Ampat sebagai Global Geopark, yakni wilayah geografis tunggal dan terpadu di mana situs dan lanskapnya memiliki signifikansi geologi internasional yang dikelola dengan konsep holistik mencakup perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan. Kendati Pulau Gag tidak termasuk dalam delineasi, kerusakan eksoistem di suatu pulau bisa menyebabkan terganggunya ekosistem di seluruh kawasan inti pelestarian, bahkan ekosistem jantung Segitiga Terumbu Karang.
Geopark Raja Ampat

Apa jadinya bila Raja Ampat hilang dari Bumi?

Raja Ampat terlalu mahal untuk dipertaruhkan dengan apapun. Apabila bentang alamnya lenyap secara tiba-tiba—entah karena digadaikan untuk eksploitasi atau kehendak alam—kita akan menderita kehilangan-kehilangan.

Kita merugi atas lenyapnya kekayaan geologi yang berisi arsip-arsip perjalanan Bumi. Hilangnya Raja Ampat juga berarti keruntuhan ekosistem laut dunia. Kita pun akan kehilangan teladan masyarakat adat yang telah membuktikan bahwa manusia bisa hidup berdampingan secara berkelanjutan dengan alam. Artinya, kita telah kehilangan kerajaan laut, taman bumi purba, dan rumah bagi para pelestari ekologi yang hidup dalam dongeng dan senandung adat.

Sebelum sesal-sesal kian menjadi-jadi. Mohandas Karamchand Gandhi, tokoh pemikir dari India, pernah mewanti-wanti perilaku kita yang cendurung kemaruk.  “Dunia cukup untuk kebutuhan semua orang,” ujarnya “tetapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang.”

 

Source: National Geographic

Share this information!

Leave a Reply